Jumat, 28 Desember 2012

Tauhid


Tauhid/ketuhanan adalah sesuatu hal yang sangat penting dalam sebuah agama, karena tauhid lah yang membedakan antara ajaran agama dengan ajaran motivator dan sebagainya. Maka dari itu dalam islam, ajaran tauhid menjadi ajaran dasar dan sekaligus pokok.


Dalam islam, dikenal 20 sifat wajib Allah dan 20 sifat mustahil Allah. Ada juga asmaul husna (99 nama/sifat Allah). Sebenarnya nama/sifat Allah tidak terbatas 20 atau 99. 20 sifat wajib/mustahil itu hanya rangkuman singkat untuk memudahkan mengenal Allah. Sedang 99 asmaul husna adalah nama-nama (sifat-sifat) Allah yang wajib diketahui. Tidak semua nama/sifat Allah telah diketahui manusia dan tidak juga semuanya wajib diketahui.


Allah sendiri berasal dari kata illah. Allah artinya Tuhan. Maka dari itu sebelum islam datang, di timur tengah orang orang penyembah berhala pun banyak yang bernama Abdullah (abdi Allah). Tentunya Allah orang-orang syirik itu tidak mereka yakini mempunyai 20 sifat wajib/mustahil maupun asmaul husna. Itulah yang jadi pembeda antara Allah orang-orang kafir dengan Allah orang islam.


Lailahaillallah. Artinya tiada Tuhan selain Tuhan. Ada indikasi kuat bahwa tidak semua Nabi menyebut Tuhannya dengan kata Allah. Antara lain Nabi dari bani Israel ada yang menggunakan sebutan Tuhan dengan kata Yahweh. Diindikasikan bahwa para Nabi yang jumlahlahnya ribuan itu, menggunakan sebutan Tuhan/Allah dengan bahasa setempat sesuai bahasa umatnya yang diberi dakwah tauhid.


Ada indikasi, bahwa dahulu di Nusantara ini pun, Tuhan menurunkan Nabi. Hal ini didasarkan dengan adanya kalimat-kalimat tauhid yang sudah dikenal di Nusantara. Antara lain kalimat tauhid “Tuhan yang Maha Esa”, “Sang yang Widi”, dan lain sebagainya.


Perlu diketahi bahwa tidak semua Nabi diberi kitab suci dan syariat-syariat yang rumit. Tapi semua Nabi membawa ajaran tauhid (meng-Esa-kan Tuhan). Bisa jadi para Nabi di Nusantara cuma mengenalkan dan mempopulerkan kalimat-kalimat tauhid tanpa membawa kitab suci maupun syariat-syariat yang rumit.


Ada indikasi juga bahwa sebagian besar agama di dunia dulunya dibawa oleh seorang Nabi. Termasuk Hindu, Buddha, dan Majusi (Zoroaster). Tapi dengan bergantinya waktu, muncullah ajaran-ajaran bid’ah yang dibuat oleh umat agama tersebut lalu berkembang ke arah kesyirikan. Lihat kitab Weda agama Hindu yang di dalamnya menyatakan bahwa Tuhan itu sebenarnya satu tapi orang-orang bijak mempunyai sebutan yang berbeda-beda tentang Tuhan. Lihat juga para kafir quraish penyembah berhala yang dulunya adalah ummatnya Nabi Ismail.


Konsep Tuhan dalam Islam


Prinsip ajaran tauhid harus sama sejak Nabi Adam AS sampai Nabi Muhammad SAW. Prinsip ajaran tauhid harus sama sepanjang masa, tidak mengenal faktor waktu maupun tempat. Karena Tuhan yang diyakini orang islam adalah Tuhan yang qadim (yang pertama ada tanpa didahului ketidak adaan) dan Tuhan yang kekal (tidak berubah baik dzatNya maupun sifat-sifatNya).


Dalam sains,  banyak partikel-partikel yang belum ditemukan. Ada jenis partikel yang belum ditemukan keberadaannya tapi oleh para ilmuwan diyakini ada, tentunya ilmuwan tersebut menyuguhkan teori dan menyebutkan sifat-sifat partikel tersebut. Untuk disebut suatu partikel, katakanlah misalnya partikel X, untuk disebut partikel X tentu harus ada teori tertentu dan sifat-sifat tertentu dari partikel tersebut. Meski partikel itu belum ditemukan tapi para akademisi meyakini adanya partikel X tersebut karena ilmuwan tersebut mampu menyuguhkan teori-teori yang logis. Dalam islam juga menyuguhkan teori, untuk disebut Tuhan harus mempunyai sifat-sifat tertentu, islam menyuguhkan teori 20 sifat wajib/mustahil dan 99 sifat Tuhan.


Ada sebuah pertanyaan filsafat tauhid. Apakah Tuhan yang maha kuasa bisa menciptakan batu yang sangat besar dan berat sehingga Tuhan sendiri tak sanggup mengangkatnya?


Kalau pertanyaan tersebut dijawab: “Bisa”, maka Tuhan tidak lagi maha kuasa karena Tuhan sudah tidak kuasa lagi mengangkat batu tersebut. Kalau dijawab: “tidak bisa”, maka Tuhan tidak maha kuasa karena Tuhan tidak mampu menciptakan batu tersebut. Jawaban berdasarkan tauhid islam adalah: Tuhan mempunyai sifat wajib/mustahil atau asmaulhusna, antara lain maha kuasa, maha sempurna,  maha mengetahui, maha perkasa, maha mempunyai keinginan/kemauan, dan lain-lain. Antara satu sifat dengan sifat yang lainnya tidak boleh bertentangan. Tuhan kuasa menciptakan apapun tapi kuasanya itu mustahil digunakan sampai membuat Tuhan lemah, tidak perkasa, dan tidak sempurna. Jadi Tuhan kuasa membuat batu tersebut tapi Tuhan tidak akan melakukannya karena bertentangan dengan sifat satu dengan yang lainnya.


Pertanyaan sejenis. Apakah Tuhan yang maha kuasa bisa menjelma jadi manusia. Jawabannya adalah: Tuhan bisa menjelma jadi apapun termasuk manusia, tapi Tuhan tidak akan mau menjelma jadi manusia, karena kalau Tuhan sampai menjelma jadi manusia maka Tuhan tidak lagi maha sempurna. Padahal untuk disebut manusia maka harus makan, buang air besar, buang air kecil dan sebagainya. Silahkan anda bayangkan sendiri kalau Tuhan sedang buang air besar. Apa bisa disebut lagi maha sempurna dan maha indah?


Dalam islam dikenal istilah Sang Khalik (sang pencipta/Tuhan) dan makhluk (semua hal/benda baik yang mati maupun yang hidup). Khalik artinya pencipta, sedangkan makhluk artinya yang diciptakan. Selain Khalik/Allah (sang pencipta), maka disebut makhluk (yang diciptakan), alam semesta dan isinya disebut makhluk. Sang Khalik adalah yang maha sempurna sedang makhluk pasti adalah yang tidak sempurna. Karena Tuhan mustahil menciptakan yang maha sempurna menyerupai diriNya. Malaikat dan Nabi pun tidak sempurna, karena mereka makhluk.


Jika seorang muslim ditanya Tuhan ada di mana? Maka jawabannya adalah:


1.      Tuhan tidak bertempat. Yang tidak bertempat maksudnya dzat wujudnya Tuhan. Karena Tuhan tidak memerlukan tempat. Karena kalau Tuhan butuh tempat maka Tuhan sudah butuh sesuatu maka Tuhan bisa disebut lemah/apes. Padahal Tuhan mustahil lemah/apes karena Tuhan maha kuat, perkasa dan sempurna.
2.      Tuhan ada di mana-mana. Maksudnya yang di mana-mana adalah kekuasaanNya. Jadi yang di mana-mana bukan dzatNya tapi sifatNya, meliputi kekuasaanNya, ilmuNya, dan lain-lain. Karena dzat Tuhan yang maha suci mustahil ada di kolong WC, tapi tidak ada sejengkal tempatpun yang luput dari kekuasaaNya dan pengetahuanNya.
3.      Tuhan ada di atas. Di atas di sini maksudnya adalah derajatNya. Derajat kekuasaanNya, kesempurnaanNya, kesuciaanNya, dan lain sebagainya.
4.      Tuhan ada di Arsy ( Arsy adalah singgasana kekuasaan Tuhan atau pusat alam semesta). Maksudnya adalah bahwa semua yang ada di alam semesta diatur dan berada di bawah kekuasaan Tuhan. Tuhan adalah rajanya raja, penguasanya penguasa.
5.      Tuhan ada di dalam hati. Maksudnya di hatinya orang-orang beriman meyakini adanya Tuhan dengan segala kekuasaanNya.



Begitulah kira-kira jawaban seorang muslim secara ilmu tauhid kalau ditanya Tuhan ada di mana. Tidak ada jawaban dan perkataan makhluk yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Sang Khalik.


Wallahua’lam.

Senin, 17 Desember 2012

Bahaya Laten Bid'ah


Sebelum membaca artikel ini, silahkan baca artikel sebelumnya yang membahas definisi bidah di: http://ketoklogic.blogspot.com/2012/12/bidah.html


Dalam islam dikenal istilah-istilah seperti iman, taqwa, tawakal, kafir, bid'ah, dan lain sebagainya, tetapi kenapa definisi istilah bid'ah yang paling banyak pertentangannya di antara ummat?


Suatu istilah hukum, sebenarnya tidak hanya ada pada hukum islam, dalam hukum positifpun dikenal istilah-istilah hukum, misalnya yurisprudensi, kasasi, banding, gugatan, penyidik, tersangka, dan sebagainya. Dalam istilah-istilah hukum positif itupun juga ada arti secara bahasa maupun arti secara hukum.


Saya kebetulan lahir dari keluarga NU, Ayah saya pengurus NU, dan ibu saya pengurus Muslimat NU. Secara kultural, keluarga besar saya juga NU. Kakek saya seorang mursyid thoriqoh dan pengasuh sebuah pesantren.


Sejak kecil, saya fanatik dengan NU, baik secara organisasi maupun secara kultural. Saya sering berpikir, kenapa secara organisasi, NU kalah maju dengan Muhammadiyah. Padahal kalau dilihat jamaahnya, secara kultural jumlah orang NU jauh lebih banyak dibanding orang Muhammadiyah, tetapi kenapa secara aset, NU kalah jauh dengan Muhammadiyah baik secara kualitas maupun kuantitas.


Singkat cerita, saya sering mengamati ritual-ritual orang NU yang sering divonis bid’ah oleh orang di luar NU. Ada yang menarik, dimana ritual-ritual bid’ah ini bisa berdampak ke wilayah politik, sosial maupun ekonomi. Bagaimana ceritanya?


Seorang tokoh agama, katakanlah kyai, gus atau habib, jika mereka menjadi imam shalat di masjidnya, paling jamaahnya cuma satu RT. Tetapi, mereka akan punya jamaah di luar RT, di luar kecamatan, di luar kota, di luar propinsi, bahkan bisa di luar negeri, kalau kyai, gus, dan habib ini menjadi imam thariqoh dan dzikir bersama apapun namanya (dzikrulqhofilin, mujahadah, ratib, dsb), dan jamaah mereka bisa ribuan bahkan ratusan ribu. Dengan mempunyai jamaah yang banyak, baik diniatkan atau tidak, para tokoh agama ini akan memperoleh keuntungan politik, sosial maupun ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung.


Seorang yang sudah dewasa pemikirannya dan cukup pengalamannya tentu tahu keuntungan apa saja kalau seorang tokoh mempunyai jamaah/pengikut ribuan orang. Apalagi seorang yang sudah biasa bersinggungan dengan organisasi tentu lebih paham keuntungan apa saja apabila sesorang tokoh mempunyai ribuan jamaah/pengikut. Bahkan, andai si kyai/gus/habib memberikan jamuan/makanan gratis sekalipun kepada jamaahnya setiap acara ritual bid'ah yang ia pimpin tetap saja si habib/kyai/gus masih bisa untung secara ekonomi. Bagaimana caranya? Bagi habib/kyai/gus yang sudah berpengalaman, biasanya mengajukan proposal pembiayaan buat acara ritual bid'ahnya ke instansi pemerintah maupun swasta. Selain itu, dari ribuan jamaah yang ada juga akan otomatis muncul donatur-donatur bagi jamaah yang mampu secara ekonomi kalau tahu si habib/kyai/gus mengeluarkan biaya pribadi untuk menjamu jamaahnya. Sedang dari segi sosial, tentu strata sosial si kyai/gus/habib akan naik kalau mempunyai jamaah ribuan orang. Masih banyak keuntungann-keuntungan yang lain, tapi tidak akan saya bahas panjang lebar di sini.


Bagaimana dengan tradisi NU di kampung-kampung. Di kampung-kampung yang secara kultural NU, maka akan sering kita temui ritual tahlilan, baik saat ada orang meninggal maupun sesudahnya. Ada juga acara Manakiban untuk orang yang mau punya hajat. Ada juga acara berjanjen (dibaan) untuk kelahiran bayi. Apa keuntungan bagi tokoh agama, dengan ritual bid’ah macam tahlilan, manakiban, dan berjanjen?. Dalam kultural NU dikenal amplop/slawat berisi uang untuk kyai/gus/habib untuk imam ritual-ritual bid’ah tersebut.


Tidak bisa dielakkan lagi, bahwa ritual-ritual bid’ah memberikan keuntungan politik, sosial, dan ekonomi bagi tokoh-tokoh agama tersebut, tetapi kita tetap harus khusnudzon kepada tokoh-tokoh agama tersebut. Karena, mayoritas dari mereka melakukan ritual-ritual bid'ah tersebut bukan karena faktor politik, sosial maupun ekonomi, melainkan mereka meyakini hal tersebut adalah bid’ah hasanah (bid'ah yang baik).


Pembahasan di atas adalah dampak ritual-ritual bid’ah terhadap tokoh-tokoh agama. Bagaimana dampak bid’ah terhadap masyarakat, baik secara sosial maupun ekonomi?


Beberapa tahun yang lalu, ada keluarga saya yang meninggal dunia. Untuk biaya ritual-ritual bid’ah dan hal-hal yang dilakukan di tradisi NU setelah orang meninggal, menelan biaya sekitar 30 juta. Setelah kejadian itu saya berpikir, ternyata banyak juga biaya untuk ritual-ritual bid’ah, dan alangkah baiknya hal demikian diamalkan untuk hal-hal yang produktif, misalnya untuk yayasan pendidikan islam atau disalurkan kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkan, misalnya untuk panti asuhan.


Setelah itu saya melakukan penelitian, terhadap biaya setiap orang di kultural NU mulai sejak lahir sampai mati dan setelah mati untuk ritual bid’ah. Singkat cerita, penelitian itu menghasilkan kesimpulan, bahwa rata-rata di kultural NU, untuk biaya ritual bid’ah mulai dari lahir sampai mati dan setelah mati menelan biaya total 5 juta per orang.


Rata-rata penduduk di tiap kecamatan berjumlah 35.000 jiwa. Sekarang kita hitung, kita hitung 30.000 saja karena tidak semua penduduk berkultur NU dan Muslim. Rp 5000.000.- X 30.000 = Rp 150.000.000.000 (seratus lima puluh milyar). Silahkan 150 M kalikan beberapa generasi. Perlu diketahi sekitar 80% Muslim Indonesia secara kultural NU (melakukan ritual-ritual bid'ah).


Dengan biaya yang begitu besar, andaikan biaya ritual bid’ah ini dialihkan untuk hal-hal yang lebih produktif tentu hasilnya akan lebih bermanfaat bagi ummat. Andai saja hal itu dialihkan ke pendidikan, maka ummat islam di Indonesia akan punya Perguruan Tinggi per kecamatan. Bayangkan!!! Bayangkan, jika umat islam mempunyai Perguruan Tinggi per kecamatan, betapa akan majunya peradaban umat islam dan bangsa Indonesia.


Jadi masalah bid’ah ini tidak hanya berkaitan dengan hukum islam, tetapi juga berhubungan dengan politik, sosial, dan ekonomi. Jadi wajar kalau sampai sekarang, istilah bid'ah ini terus jadi pertentangan di antara umat islam.


Benarkah kalau kultur bid’ah ini tetap eksis maka yang jaya adalah tokoh agama, dan apabila kultur bid'ah ini hilang maka yang jaya adalah agama (umat islam)?


Wallahua’lam.

Kamis, 13 Desember 2012

Definisi Bid'ah


Bid’ah adalah sesuatu yang jelas dilarang dalam agama islam. Banyak hadis yang membahas tentang bid’ah, antara lain di bawah ini:
                                                               
Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam bersabda:


مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ (رواه النسائي


“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitab Allah (al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap yang baru diada-adakan adalah bid’ah, setiap bid’ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di dalam neraka.” (HR Nasa’i)


Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam bersabda:



أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ


“Amma ba’d, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Muslim)

Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam bersabda:


مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ


“Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya tertolak.” (HR Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam bersabda:


وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ


“Jauhilah oleh kalian semua dari mengada-adakan hal-hal yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Abu Dawud)


Secara bahasa, bid‘ah berasal dari kata bada’a- yabda‘u-bad‘an wa bid‘at[an] yang artinya adalah mencipta sesuatu yang belum pernah ada, memulai, dan mendirikan. Bada‘a asy-syay‘a, artinya, Dia menciptakan sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada (Kamus al-Munawir, hlm. 65). Bisa disimpulkan bahwa bid’ah secara bahasa artinya menciptakan hal yang baru atau melakukan inovasi baru.


Sudah jelas bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam melarang bid’ah. Semua bid’ah adalah sesat. Apakah berarti Rasulullah melarang menciptakan sesuatu yang baru?


Perlu dibedakan antara arti bahasa dan arti istilah. Contohnya, taqwa secara bahasa artinya memelihara, iman secara bahasa artinya percaya, kafir secara bahasa artinya menolak/mengingkari. Apakah kalau ada non muslim yang percaya dengan artikel ini dia bisa disebut mukmin secara syar'i? tentu tidak. Apakah kalau ada orang islam yang menolak/mengingkari artikel ini bisa disebut kafir? tentu tidak. Karena ada arti secara bahasa dan secara istilah. Perlu dibedakan antara taqwa, iman, kafir, tawakal, dan bid’ah secara bahasa dan secara istilah.


Dalam hukum islam maupun hukum positif terdapat istilah-istilah hukum. Misalnya dalam hukum positif, kata “tersangka” secara bahasa dan istilah berbeda maknanya. Tersangka secara bahasa adalah orang yang dicurigai/diduga/disangka melakukan sesuatu hal, sedang secara istilah hukum adalah orang yang disangka melakukan sesuatu perbuatan melawan hukum dan telah ada dua alat bukti yang mengarah padanya.


Perlu dipahami antara perkara-perkara ubudiah dengan perkara-perkara muamalah (istilah Ubudiah di artikel ini diartikan dalam arti sempit, yaitu hanya ritual peribadatan. Sedangkan istilah Muamalah dalam artikel ini diartikan dalam arti luas, yaitu semua urusan dunia dan juga semua hal yang berbau agama yang selain ritual peribadatan). Misalnya, shalat adalah perkara ubudiah, sedangkan saat shalat memakai pakaian model dan jenis tertentu itu adalah perkara muamalah. Rasulullah menyuruh sahabatnya untuk mencontoh shalatnya, tetapi Rasulullah tidak pernah melarang sahabat yang tidak memakai baju persis sama dengan Rasulullah.


صَلُّوا كَمَا رَأَيتُمُنِي أُصَلِي


“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR Bukhari dan Muslim)


Perlu diperhatikan bahwa setiap ritual ibadah apapun pasti bersinggungan dengan perkara muamalah. Missal dalam shalat tentu supaya sah shalatnya harus menutupi aurat (memakai baju, sedangkan memakai baju adalah perkara muamalah).


Di atas sudah banyak disebutkan hadis-hadis tentang prinsip hukum ubudiah, di bawah ini salah satu hadis untuk dasar hukum muamalah:


أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ


“Kalian lebih tahu tentang urusan duniawi kalian.” (HR Muslim)


Prinsip hukum untuk perkara ubudiah adalah “semua dilarang kecuali yang diperintahkan" sedang prinsip hukum muamalah adalah "semua boleh kecuali yang dilarang”.


Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa bid’ah secara istilah artinya menciptakan sesuatu yang baru atau menciptakan inovasi baru dalam ritual peribadatan. Yaitu mengubah ritual peribadatan yang telah ditentukan tata cara dan syarat rukunnya, atau meracik ritual peribadatan baru.


Tidak semua yang berhubungan dengan agama adalah perkara ubudiah (ritual peribadatan). Contohnya, meskipun agama memerintahkan semua muslim untuk menuntut ilmu, dan menuntut ilmu dijanjikan pahala yang besar melebihi shalat sunnah 1000 rakaat, tapi menuntut ilmu bukanlah ritual peribadatan. Begitu juga tidak semua yang melanggar hukum syar’i disebut bid’ah.


Perlu dipahami perbedaan antara ritual peribadatan dengan perbuatan yang bisa bernilai ibadah. Ritual peribadatan pasti bernilai ibadah, tapi yang bernilai ibadah tidak hanya ritual peribadatan.


Apakah pembukuan Al-Quran, pemberian titik, maupun penulisan dalam kertas-kertas dan media modern adalah bid’ah? Jawabannya tidak. Karena Al-Quran bukan ritual peribadatan, meskipun dalam ritual peribadatan ada bacaan Al-Quran. Masjid bukanlah ritual peribadatan meskipun di masjid digunakan sebagai ritual peribadatan. Para tukang bangunan yang sedang membangun masjid tidak disebut sedang melakukan ritual peribadatan, tetapi para tukang itu sedang melakukan pekerjaan yang bisa bernilai ibadah, begitu juga orang yang sedang menulis ayat-ayat Al-Quran menjadi buku tidak disebut sedang melakukan ritual peribadatan melainkan sedang melakukan amalan kebaikan yang bisa bernilai ibadah.


Beda masalah dengan orang yang menggunakan Al-Quran untuk menciptakan ritual ibadah tertentu. Misalnya orang berkumpul melakukan ritual sujud syukur berjamaah 10 kali sambil membaca Al-Quran 10 kali untuk syukuran panen. Sujud sukur maupun membaca Al-Quran hukumnya boleh bahkan disunnahkan, tetapi melakukan inovasi menjadi kesatuan ritual tertentu, yaitu dilakukan berjamaah dan dengan hitungan-hitungan tertentu dan tata cara serta niat tertentu yang seolah menjadi ritual peribadatan sendiri yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah, itu yang membuat jadi bid’ah. Jadi di sini yang bid'ah bukan sujud syukur dan Al-Qurannya, tapi meracik amalan-amalan tertentu jadi ritual peribadatan.


Tidak semua yang diperintahkan agama dan yang terkesan ibadah lalu otomatis disebut ritual peribadatan (ubudiah), bahkan sesuatu yang mengikuti atau hal-hal yang disunnahkan maupun diwajibkan demi sahnya ritual peribadatan tidak otomatis disebut ritual peribadatan. 


Misalnya wudlu, adzan, dan khutbah. Ketiga hal tersebut bukan ritual peribadatan. Kenapa? Karena dasar tujuan wudlu untuk membersihkan badan, adzan untuk ajakan shalat, khutbah untuk peringatan dan ajakan kebaikan. Makanya, Hilal RA pernah adzan untuk membangunkan orang tidur dan untuk memperingatkan orang-orang yang shalat malam di masjid untuk pulang sahur, dan hal itu diketahui Rasulullah dan dibiarkan.


Meskipun ketiganya bukan ritual peribadatan, bukan berarti bebas untuk diubah-ubah. Ada hal-hal fundamental yang telah ditentukan Rasulullah. Sedangkan menyelisihi ketentuan Rasulullah tentunya adalah hal yang tercela kecuali ada alasan yang dibenarkan syar'i yaitu untuk kemaslahatan dikarenakan faktor-faktor tertentu, misalnya karena faktor perkembangan zaman. Tetapi, khusus dalam ritual peribadatan yang sudah ditentukan tata cara dan syarat rukunnya bersifat statis, tidak boleh mengubah atau menciptakan ritual peribadatan baru dalam keadaan apapun dan sampai kapanpun.


Ada ritual ibadah yang tidak ditentukan syarat rukunnya, yaitu doa dan dzikir. Rasul tidak membuat syarat dan rukun dalam ibadah ini. Rasulpun melakukannya dengan cara-cara yang berbeda-beda. Sehingga kedua ibadah ini bisa dibilang adalah ibadah free format. 
Bagaimana kalau meracik ritual peribadatan dari kedua hal tersebut, yaitu doa atau dzikir? Kalau meraciknya sampai seolah-olah menjadikan racikannya itu sebuah ritual peribadatan tertentu, maka hal itu menjadi bid’ah. Tentu bisa dibedakan antara orang dzikir dengan orang Tahlilan, orang tahlilan pasti dzikir sedang orang dzikir tidak otomatis dibilang tahlilan. Logika yang serupa, orang shalat pasti baca al-quran, tapi orang yang baca al-quran tidak otomatis lalu disebut sedang shalat.


Tujuan dasar sangat menentukan suatu perilaku bisa disebut ritual peribadatan atau tidak. Sedangkan niat, yang menjadikan suatu perbuatan bernialai ibadah atau tidak. Perlu dibedakan antara "tujuan dasar" sebuah perilaku/ritual/kegiatan dengan "niat" melakukan perilaku/ritual/kegiatan.


Orang yang membungkuk-bungkung dengan tujuan dasar mengagungkan Tuhan, bisa disebut sedang melakukan ritual peribadatan. Tetapi, orang yang membungkuk-bungkuk dengan tujuan dasar olahraga bisa disebut senam, dan tidak bisa disebut sedang melakukan ritual peribadatan. Tetapi, meskipun senam bukan ritual peribadatan, kalau niatnya karena Allah, misalnya niatnya supaya menjadi hamba Allah yang kuat, maka senam menjadi bernilai ibadah. Sebaliknya, orang yang shalat, dimana shalat yang notabene adalalah ritual peribadatan yang tujuan dasarnya untuk menyembah Allah, kalau niatnya karena riya' maka tidak lagi bernilai ibadah.



Bahkan, salah satu rukun islam yaitu zakat bukan merupakan ritual peribadatan. Dalam islam ada ibadah yang sifatnya ritual peribadatan, ada ibadah yang sifatnya muamalah. Makanya, zakat bisa tidak persis sama seperti zaman Rasulullah yang menggunakan kurma.


Contoh lain, misalnya kita melakukan shalat pelangi ataupun shalat untuk kejadian alam lainnya, seperti shalat gerhana yang dicontohkan Rasulullah. Yang bid'ah bukan gerakan dan bacaan shalatnya, tapi niat untuk ritual tertentu yang tidak dicontohkan Rasulullah yang membuat bid'ah, karena Rasulullah hanya mencontohkan shalat gerhana. (semua ulama madzhab 4 tentunya sepakat, hal semacam itu tidak dibenarkan, artinya hal tersebut adalah bid'ah). Jadi, Niat dalam ritual peribadatan bisa menjadikan bid"ah, kalau niatnya menyelisihi yang dicontohkan Rasulullah. ( #niat )


Contoh lain, Shalat Tahiyatul masjid dilakukan dengan cara berjamaah (semua ulama madzhab 4 tentunya sepakat, hal tersebut adalah bid'ah). Jadi, cara/metode bisa membuat suatu ritual peribadatan menjadi bid'ah. Padahal kalau kita cari dalil tentang perintah supaya berjamaah tentunya banyak sekali, tetapi karena Rasulullah mencontohkan shalat tahiyatul masjid sendiri-sendiri, artinya kalau dilakukan dengan cara berjamaah adalah bid'ah. ( #cara / #metode )


Kalau hanya karena faktor niat dan cara/metode saja bisa menyebabkan sebuah ritual peribadatan menjadi bid'ah, apakah masih akan menganggap ritual peribadatan semacam dzikir berjamaah (tahlilan, mujahadah, dzikrulqhafilin, ratib, dsb) itu bukan bid'ah? Rasulullah tidak pernah melakukan dzikir berjamaah, bahkan ulama madzhab 4 (Imam Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali) sekalipun juga tidak pernah melakukan ritual-ritual tersebut.


Apakah maulid Nabi itu bid'ah? Peringatan kelahiran seseorang bukanlah ritual peribadatan, jadi maulid Nabi bukanlah bid'ah. Bagaimana kalau misalnya peringatan maulid disertai sujud syukur berjamaah 10 kali sambil baca Al-Quran berjamaah 10 kali dengan diniatkan rasa syukur karena telah diutusnya seorang Rasul. Dalam hal ini yang bid'ah bukan maulidnya tetapi yang bid'ah adalah ritual dalam maulid tersebut. Selama di dalam maulid itu cuma diisi perkara muamalah yaitu pengajian maupun kajian sejarah Nabi maka bukanlah bid'ah.


Dari beberapa riwayat diketahui, para sahabat dan ulama salaf belum membedakan bid’ah secara bahasa dan secara istilah dengan rinci dan jelas, sehingga muncul istilah bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Misalnya Umar RA yang shalat tarawih berjamaah lalu berkata “sebagus bid’ah ialah ini”, hal itu sebenarnya adalah bid’ah secara bahasa karena Rasulullah pernah mencontohkan shalat tarawih berjamaah, dan banyak hadis yang meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah memimpin shalat tarawih berjamaah. 


Munculnya istilah bid’ah hasanah dan sayyiah menjadi pembenaran perilaku bid’ah akhir-akhir ini. Padahal ritual-ritual yang dilakukan para ahlul bid’ah akhir-akhir ini tidak pernah dilakukan oleh sahabat dan ulama salaf (imam madzhab empat). 


Andai perilaku bid’ah yang dilakukan para ahlul bid’ah akhir-akhir ini dicontohkan oleh para sahabat dan ulama salaf sekalipun, hal demikian tetap tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan hirarki hukum yang lebih tinggi, yaitu hadis. Selain itu, kita tahu perilaku sahabat dan ulama salaf juga cuma dari riwayat, sedang standar periwayatan perilaku sahabat dan ulama salaf tidak seketat standar periwayatan hadis. Perlu diketahui juga, bahwa perilaku sahabat tidak semua benar dan harus diikuti, karena para sahabat tidak maksum seperti Nabi. Lihat sejarah perang jamal dimana para Sahabat Nabi berperang dan saling bunuh sesama Sahabat Nabi.


Dari dalil-dalil dan pembahasan di atas bisa disimpulkan bahwa semua bid’ah adalah sesat. Tidak ada definisi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi'ah, karena kalau ada bid’ah hasanah dan sayyiah maka akan bertentangan dengan hadis "kullu bid'atin dholalah, wa kullu dholalatin finnar" “semua bid’ah adalah sesat, dan semua kesesatan (tempatnya) di neraka”. Definisi yang paling sesuai adalah definisi bid’ah secara bahasa dengan bid’ah secara istilah. Dengan melihat sejarah Nabi SAW dan sabda-sabda beliau yang telah ditulis di atas, maka bid’ah secara istilah adalah menciptakan sesuatu yang baru yang menyangkut ritual peribadatan, baik mengubah ritual peribadatan yang telah ditentukan tata cara dan syarat rukunnya maupun meracik ritual peribadatan baru.


Perlu diperhatikan bahwa yang memberikan vonis sesat terhadap bid’ah bukanlah si A atau si B melainkan Rasulullah.


Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam bersabda:


مَا أَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا رُفِعَ مِثْلُهَا مِنَ السُّنَّةِ


"Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah, kecuali akan terangkat Sunnah yang semisal dengannya." (HR Ahmad)


Wallahua’lam.