Kamis, 10 Januari 2013

Bolehkah Makan Babi dan Melakukan Bid’ah?



Makan babi jelas haram hukumnya, tetapi kadang sesuatu yang haram bisa saja dibolehkan kalau dalam keadaan darurat. Dalam keadaan normal, ketika berbagai makanan halal tersedia tentunya babi tidak boleh dimakan bagi muslim. Tetapi, apabila misalnya seseorang dalam keadaan terjebak di suatu tempat dan kelaparan padahal di tempat itu cuma ada babi, tentunya babi itu boleh dimakan. Misalnya lagi, kalau sesorang muslim terjebak di suatu tempat dan di tempat tersebut cuma ada babi dan bekicot, tentunya bekicot tersebut baik untuk dimakan daripada memakan babi.


Selain babi, yang jelas haram hukumnya salah satunya adalah bid’ah. Bid’ah jelas dilarang dalam ajaran islam. Kalau babi yang jelas haram hukumnya seperti bid’ah saja boleh dimakan jika dalam keadaan darurat , tentunya bid’ah dalam keadaan-keadaan darurat juga boleh dilakukan. Intinya sesuatu keburukan boleh dilakukan jika dalam keadaan darurat untuk mencegah keburukan yang lebih besar.
Dalam islam, dosa yang paling besar adalah dosa syirik. Syirik adalah dosa yang sangat besar dan dilarang keras dalam ajaran islam. Sedangkan dosa bid’ah masih di bawah syirik. Kita tahu, dulunya di nusantara sebelum islam datang, penduduknya beragama Hindu, Buddha, dan animisme, yang dalam pandangan islam keyakinan-keyakinan tersebut penuh dengan kesyirikan.


Penduduk di nusantara waktu itu biasa melakukan ritual-ritual peribadatan yang berbau syirik, misalnya sesaji-sesaji  dan baca mantra-mantra yg tidak meng-esa-kan Tuhan. Budaya syirik yang sudah mengakar tersebut tentunya sulit diberantas meski mereka sudah memeluk islam.


Salah satu kejeniusan para pendakwah masa itu, katakanlah yang populer disebut walisongo, sedikit demi sedikit memasukkan ajaran islam dalam ritual-ritual mereka, seperti ritual  7 hari dan 40 hari kematian yang aslinya berasal dari ajaran Hindu, ritual tersebut disisipi bacaan-bacaan al-quran sebagai ganti mantra-mantra, sedangkan sesaji-sesajinya diganti dengan sedekah ke tetangga yang di jawa populer disebut berkat (besek).
Dalam keadaan darurat, babi boleh dimakan dan bid’ah boleh dilakukan, karena dosa syirik adalah dosa yang tak terampuni. Tetapi, ketika sudah keluar dari keadaan darurat, dalam hal ini umat islam di nusantara sudah jauh dari masa transisi (hindu ke islam) tentunya ritual-ritual bid’ah tersebut sudah tidak boleh dilakukan lagi, karena dasar hukumnya bid’ah adalah haram, sama dengan dasar hukumnya babi adalah haram, ketika sudah keluar dari tempat yang cuma ada babi tersebut, tidak boleh lalu menghalalkan babi karena tradisi yang dianggap baik (telah menyelamatkan nyawa/kelaparan). Kalau babi dan bid’ah dalam hal pembahasan tersebut begitu besar jasanya, bukan berarti menghapus keharaman keduanya.


Untuk ukuran 500an tahun lalu, dakwah yang dilakukan para wali sudah sangat modern dan revolusioner untuk ukuran jaman itu, bayangkan dari sesaji-sesaji yang dipersembahkan untuk demit (makhluk halus) diganti dengan sedekah ke tetangga dengan berkat (besek), dan mantra-mantra diganti dengan bacaan kitab suci yang berupa petunjuk hidup (kalau tahu artinya). Tetapi, kalau kita memandang sesuatu secara tekstual, dalam hal ini mengikuti persis apa yang dilakukan 500an tahun yang lalu, justru hal itu sangat bertolak belakang dengan semangat para wali. Karena, tujuan dakwah ulama waktu itu adalah mengislam mayarakat hindu, budha, dan animisme. Tahlilan dan berkatan bukanlah tujuan melainkan hanyalah sebagai cara dalam keadaan darurat dimana ajaran hindu sudah masuk dalam tradisi sehari-hari yang sangat sulit dihilangkan. Sedangkan kalau sekarang tetap melestarikan tradisi tersebut, justru bisa disebut "menghindukan" masyarakat yang sudah islam.



Dikutip dari majalahfurqon.com : “Salah satu buku karangan H Makhrus Ali yang mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium  Leiden Belanda, Sunan  Ampel  memperingatkan  Sunan  Kalijogo  yang  masih  melestarikan selamatan : “Jangan  ditiru  perbuatan  semacam  itu  karena  termasuk  bid'ah”.  Sunan Kalijogo  menjawab:  “Biarlah  nanti  generasi  setelah  kita  ketika  Islam  telah  tertanam  di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”. Dalam  buku  Kisah  dan  Ajaran  Wali  Songo  tulisan H Lawrens pada halaman 41, 64 juga mengupas perbedaan pendapat antara Sunan  Kalijaga,  Sunan  Bonang,  Sunan  Kudus,  Sunan  Gunungjati  dan  Sunan  Muria  (kaum abangan), dengan  Sunan  Ampel,  Sunan  Giri  dan Sunan  Drajat  (kaum  putihan) mengenai  budaya dan adat  istiadat. Sunan  Kalijaga  mengusulkan  agar  adat  istiadat  lama  seperti selamatan, sesaji, wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Namun Sunan  Ampel  menentang : “Apakah  tidak  mengkhawatirkannya  di  kemudian  hari bahwa  adat  istiadat  dan  upacara  lama  itu  nanti  dianggap  sebagai  ajaran  yang  berasal  dari agama  Islam?  Jika  hal  ini  dibiarkan  nantinya  akan  menjadi  bid'ah dan syirik?”. Sunan kudus menjawabnya  bahwa  ia  mempunyai  keyakinan  bahwa  di  belakang  hari  akan  ada  yang menyempurnakannya”.


Wallahua’lam.


Silahkan baca juga artikel tentang: Bahaya Laten Bid’ah di  http://ketoklogic.blogspot.com/2012/12/di-balik-bidah.html

Selasa, 08 Januari 2013

Ahli Bid'ah dan Ahli Kitab



Sebagai seorang muslim yang dilahirkan dari keluarga muslim dan juga NU, saya sejak kecil sering mendengar cerita bahwa; orang-orang ahli kitab dahulu sebenarnya mengetahui bahwa akan datang seorang Nabi bernama Ahmad, tetapi para pemuka agama mereka menyembunyikan dalil-dalil akan datangnya Muhammad SAW karena Muhammad SAW bukan dari golongan bani israil, selain itu para pemuka agama mereka takut kedudukan yang mulia di tengah masyarakatnya bisa tergusur dengan datangnya tokoh agama baru.


Mendengar hal demikian, meski dahulu 1500 tahun yang lalu belum banyak pembukuan sehingga mudah menyembunyikan teks ayat karena hanya tokoh-tokoh agama saja yang punya kitab suci, tetap saya menganggap kurang logis, dalam arti, masa hanya karena sentimen suku, ras, kelompok, dan faktor sosial politik sampai tokoh-tokoh agama dari ahli kitab tersebut berani menyingkirkan firman Allah dan tidak menyampaikan serta mengajarkan dalil tersebut ke ummat mereka.
 
 
Sejak SMA sampai kuliah, saya ngaji dan tinggal di pesantren kyai NU. Maka dari itu dulu saya sangat senstif kalau ada kelompok agama lain menyinggung masalah syirik dan bid’ah, karena saya tahu bahwa banyak ritual di kultural NU yang dianggap berbau syirik dan bid’ah oleh kelompok di luar NU.


Beberapa tahun belakangan, saya sering merenung; seingat saya, ternyata selama saya tinggal di pesantren NU, saya belum pernah mendengar khatib jumat yang khotbah bertemakan bid’ah. Saat SMA dan kuliah saya tinggal di pesantren NU yang berbeda, dan di kedua tempat tersebut sama-sama belum pernah mendengar khotbah bertemakan bid’ah.


Dengan perenungan dari kejadian tersebut, saya baru sadar, bahwa apa yang dilakukan ahli kitab tersebut sangat logis seperti apa yang dilakukan ahli bid’ah. Karena faktor fanatisme terhadap suku, ras, bangsa, kelompok, aliran, sekte dan sosial politik, seseorang bisa khilaf sampai menyingkirkan atau tidak suka dengan firman Allah Yang Maha Suci.


Semakin menguatkan keyakinan saya akan hal tersebut, setelah melihat status FB dari Fanpage NU (Organisasi Islam Terbesar Di Dunia) ketika admin fanpage tersebut meng-share ayat suci Al-Quran berupa surat Az-zumar 39:3 yang berisi tentang syrik, dan Hadis riwayat Abu Dawud yang berisi tentang bid'ah, banyak ahli bid'ah yang seperti cacing kepanasan dan terkesan tidak suka dengan firman Allah dan Hadis tersebut. Silahkan lihat komen dari para ahli bid'ah yang sudah saya capture di bawah ini, silahkan klik foto tersebut untuk lebih jelasnya.




                                                                          -
                                                                          -
Berikut ini adalah capture komen-komen dari ahli bid'ah yang seperti cacing kepanasan melihat sabda Rasulullah SAW tentang bid'ah. Silahkan klik foto di bawah ini untuk melihat ukuran yang lebih besar.







Link halaman FB yang bernama NU (Organisasi Islam Terbesar Di Dunia): http://www.facebook.com/nahdlatulummat?filter=1

Hukum Ubudiah dan Muamalah


Dalam hukum positif, ada istilah hukum acara dan hukum materiil, sedang dalam hukum islam ada istilah hukum ubudiah dan hukum muamalah. Kedua penggolongan hukum antara hukum positif dengan hukum islam hampir mirip meski berbeda, persamaannya salah satunya dari prinsip keduanya.
 
 
Prinsip hukum acara mirip hukum ubudiah, bahwa “semua dilarang kecuali yang telah diperintahkan/ditentukan/diatur”. Sedang prinisip hukum materiil mirip dengan hukum muamalah, bahwa “ semua boleh kecuali yang dilarang”


Prinsip hukum acara dan hukum ubudiah sifatnya tertutup dan tekstual, sedang prinsip hukum materiil dan muamalah sifatnya kontekstual, bahkan dalam hukum muamalah prinsipnya sangat terbuka dan elastis, karena dalam hukum muamalah dikenal istilah ‘illat hukum’ dan asas manfaat/madlarat. Illat hukum adalah alasan dan dasar hukum mengenai adanya sebuah aturan hukum akan larangan dan perintah (mubah, makruh, haram, halal).


Pemahaman akan prinsip-prinsip tersebut sangat penting untuk dipahami bagi para penegak hukum dalam hukum positif (polisi, jaksa, dan hakim) dan juga dalam hukum islam (mujtahid dan ulama). Setinggi apapun ilmu yang dimiliki oleh penegak hukum dan mujtahid/ulama kalau pinsip-prinsip hukum  tersebut tidak dipahami, maka akan menghasilkan keputusan/produk hukum yang rancu.


Jika dalam hukum positif, ketidak pahaman prinsip hukum tersebut membuat tidak adanya kepastian hukum dalam hukum acara. Di Indonesia hal itu sudah terjadi, contohnya diterimanya kasasi putusan bebas oleh MA. Hal tersebut menjadi perdebatan serius di antara pakar dan sarjana hukum antara yang pro dan yang kontra. Dalam hukum islam kerancuan dan ketidak pastian hukum pada perkara-perkara yang disengkatan antar sekte aliran islam  yaitu soal bid’ah.


Kasus putusan diterimanya kasasi putusan bebas oleh MA itu bisa dibilang “bid’ah dalam hukum positif”. Mereka yang pro dengan diterimanya kasasisi tersebut, berargumen bahwa ada putusan bebas murni dan tidak murni. Perlu diketahui bahwa dalam KUHAP sebenarnya cuma ada istilah bebas.  Istilah bebas murni dan tidak murni tidak dikenal dalam KUHAP. Pasal 244 KUHAP “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”.Dalam hukum islam juga demikian, dalam hadis cuma dikenal istilah bid’ah. Istilah bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah tidak ada dalam teks hadis. Hadis “kullubid’atindhalalatin wakulludhalalatin finnar” artinya “semua bid’ah adalah sesat, dan semua kesesatan tempatnya di neraka”. Kenapa para pakar hukum dan mujtahid punya pandangan hukum berbeda terhada teks KUHAP dan hadis tersebut?


Hukum adalah produk politik. Jarang ditemui putusan/produk hukum yang bebas dari politik, nafsu pribadi, sentimen kelompok, dan pembenaran perilaku pribadi dan kelompok. Awalnya Sunni dan Syiah adalah kelompok politik, tetapi kelanjutannya keduanya menjadi sekte aliran yang sangat berbeda dalam produk hukumnya. Karena, produk/putusan hukum adalah produk politik. Padahal, seharusnya dalam hukum islam; politik, sentiment pribadi dan kelompok benar-benar harus dibuang bagi para mujtahid/ulama dalam membuat produk hukum (menafsiri dalil). Jadi, selain faktor kurang pahamnya mujtahid dalam prinsip-prinsip yang sudah disebutkan di atas, faktor politik juga menjadi penyebab perbedaan penafsiran di antara sekte-sekte islam.


Kesimpulannya; setinggi apapun ilmu yang dikuasai mujtahid/ulama, jika belum paham prinsip-prinsip hukum ubudiah dengan hukum muamalah maka akan menghasilkan pemahaman/produk hukum yang rancu. Yang kedua; setinggi apapun ilmu yang dikuasai mujtahid/ulama, jika belum bisa lepas dari faktor politik (sentimen pribadi, kelompok dan antar sekte, pembenaran perilaku pribadi dan kelompok, dll) maka tetap tidak akan menghasilkan produk hukum yang netral, independen, dan Lillahita’ala.


Wallahua’lam.

Senin, 07 Januari 2013

Perbedaan Islam dengan Agama Lain

Setiap agama pasti ada perbedaan dengan agama lainnya. Apa perbedaan agama islam dengan agama lainnya? Jawabannya tentu banyak perbedaannya. Tapi, tentunya ada pembeda yang menjadi inti pembeda antara islam dengan agama lainnya. Apakah itu?


Inti dari ajaran agama, yang pertama tentunya adalah ajaran Ketuhanan, karena hal itu yang menjadi pembeda antara ajaran agama dengan ajaran motivator. Yang kedua adalah ajaran dalam hukum agama, yang sumber hukumnya dari Tuhan dan sebagian sanksi dan rewardnya dihubungkan dengan hal-hal yang masih gaib seperti surga dan neraka, karena hal itu yang menjadi pembeda antara hukum agama dengan hukum positif. Bagaimana islam memandang tentang Ketuhanan dan hukum  (fiqih) ?


Yang pertama, ajaran Islam sangat menjaga kemurnian Tauhid, yaitu ke-esa-an Tuhan. Hingga dalam islam dikenal istilah Sang Khalik (sang pencipta) dan makhluk (semua yang diciptakan oleh sang Khalik). Sang Khalik pasti maha sempurna, maha kuasa, yang qadim, dan lain-lain. Sedangkan makhluk (malaikat, manusia, jin, hewan, dan alam semesta) pasti tidak sempurna. Dalam tanda kutip, makhluk adalah kebalikan dari Khalik. Hanya Sang khalik yang mempunyai kekuatan, dan tidak layak bagi makhluk untuk mengsakralkan makhluk. Untuk menjaga kemurnian Tauhid tersebut, makanya ajaran islam mengenal sifat wajib/mustahil Allah dan asmaul husna. Selain itu untuk menjaga kemurnian tauhid, dalam ajaran islam dikenal istilah Syirik. (Lebih jelasnya baca artikel sebelum ini tentang “Tauhid”)


Syirik adalah dosa paling besar dalam islam, sehingga jika ada masalah khilafiah/perbedaan pendapat tentang suatu perbuatan tertentu termasuk syirik atau tidak, sebaiknya dihindari dan tinggalkan perbuatan tersebut.  Bahkan yang paling menghawatirkan, berbuat riya’ dalam ibadah saja itu sudah termasuk syirik (kecil). Kenapa riya dalam beribadah termasuk syirik? Karena yang berhak diibadahi hanya Allah saja, tidak boleh niat ibadah karena Allah dan si B. Selain riya, sombong juga termasuk syirik (kecil).


“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian ialah syirik yang paling kecil. Mereka bertanya: Apakah itu syirik yang paling kecil ya Rasulullah? Beliau menjawab: Riya! Allah berfirman pada hari kiyamat, ketika memberikan pahala terhadap manusia sesuai perbuatan-perbuatannya: Pergilah kamu sekalian kepada orang-orang yang kamu pamerkan perilaku amal kamu di dunia. Maka nantikanlah apakah kamu menerima balasan dari mereka itu." (HR Ahmad)


“Wahai sekalian manusia, jauhilah dosa syirik, karena syirik itu lebih samar daripada rayapan seekor semut.’ Lalu ada orang yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana kami dapat menjauhi dosa syirik, sementara ia lebih samar daripada rayapan seekor semut?’ Rasulullah berkata, ‘Ucapkanlah Allahumma inni a’udzubika an usyrika bika wa ana a’lam wa astaghfiruka lima laa a’lam (‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku sadari. Dan aku memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosa yang tidak aku ketahui).” (HR Ahmad)


“Kemuliaan adalah pakaian Allah. Kesombongan (kebesaran) adalah selendang Allah. Allah berfirman: “Barangsiapa yang menyamaiKu, maka Aku akan menyiksanya.” (HR Bukhari dan Muslim)


“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan, sekalipun hanya sebesar biji sawi. Seorang lelaki berkata: “Wahai Rasulullah, ada seorang lelaki yang menyukai pakaian yang bagus dan sandal yang bagus (bagaimana orang itu?).” Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah itu `maha indah dan Allah menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan menyepelekan manusia.” (HR Muslim)


“Andai kalian tidak berdosa sekalipun maka aku takut kalian ditimpa dengan perkara yang lebih besar darinya yaitu ujub.” (HR Al-Baihaqi)


Yang kedua adalah tentang hukum islam, yaitu persamaan derajat manusia. Tidak ada kemuliaan di hadapan Allah yang bersifat warisan, semua orang sama derajatnya, karena semua makhluk adalah ciptaan Sang Khalik yang maha esa, Allah tidak beranak, diperanak, berkerabat, dan bersaudara. Entah manusia keturunan Nabi, Raja, maupun keturunan pelacur yang ayahnya tidak jelas sekalipun. Semua sama derajatnya. Bahkan Nabi pun cuma makhluk lemah dan tidak luput dari salah (shidiq dan maksum bagi Nabi bukan berarti Nabi tidak pernah salah, karena hanya Sang Khalik yang maha benar. Tapi meski demikian Nabi dijaga oleh Allah dari kesalahan fatal karena untuk panutan ummat). Hanya tingkat ketakwaan kepada Allah yang membedakan kemulian seseorang. 


Dalam derajat kemuliaan, islam tidak membedakan keturunan/nasab, ras, dan suku. Makanya, tokoh agama islam yang sesuai syar’i disebut Ulama (orang yang berilmu). Bukan kyai, gus atau habib, tapi Ulama. Siapapun asal berilmu maka layak disebut Ulama dan menjadi tokoh/imam dalam islam. Dalam hukum shalat juga demikian, yang paling tinggi ilmunya adalah orang yang harus dijadikan imam dalam jamaahnya. Hal Itu menunjukkan bahwa ajaran islam adalah ajaran yang sangat anti feodalisme. (pertimbangan Nasab hanya untuk memilih calon suami/istri, karena hal itu ada kaitannya dengan perkara medis dan keturunan (secara biologis) bagi pasangan yang menikah).


“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)


“Apabila sangkala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (QS Al-Mukminun 101)


“Tatkala Allah menurunkan ayat “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat!” (QS. Asy Syuara’:214), Rasulullah SAW pun berdiri dan berseru, “Wahai kaum quraisy –atau perkataan yang mirip ini-, selamatkanlah jiwa kalian! Sesungguhnya aku tidak bisa menolong kalian dari ancaman Allah. Wahai bani abdul manaf, aku sama sekali tidak bisa menolong kalian dari ancaman Allah. Wahai Abbas bin Abdilmuthalib, aku tidak bisa menolongmu dari ancaman Allah. Wahai Sofiah bibinya Rasulullah, aku sama sekali tidak bisa menolongmu dari ancaman Allah. Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah kepadaku apa yang engkau kehendaki dari hartaku, aku sama sekali tidak bisa menolongmu dari ancaman Allah.” (HR Bukhari)


Seorang muslim harus menempatkan Sang Khalik sebagai Sang Khalik dan Makhluk sebagai Makhluk. Jika seseorang masih mengsakralkan makhluk maka masih bermasalah ketauhidannya. Jika seseorang masih takut kepada makhluk, maka masih bermasalah ketauhidannya. Jika seseorang masih takut apabila misalnya dikalungin celurit oleh perampok dilehernya, maka masih bermasalah dengan ketauhidannya walaupun hal demikian manusiawi. Jika seseorang masih takut dengan mitos dan takhayul (hantu misalnya) maka masih bermasalah dengan ketauhidannya. Selain para Nabi, ketauhidan yang paling murni dimiliki para wali. Perilaku wali-wali Allah jauh dari sifat riya’. Dan juga, para wali Allah tidak pernah merasa takut (selain kepada Allah).


“Ingatlah; sesungguhnya para wali Allah, mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertaqwa.” (QS. Yunus: 62-63)


“Riya yang sedikit adalah syirik. Barangsiapa yang memusuhi wali-wali Allah, maka ia telah memerangi Allah secara terang-terangan. Sesungguhnya Allah SWT mencintai orang-orang yang berbuat baik yang bersih hatinya dan tersembunyi. Jika mereka tidak ada, maka mereka tidak dicari, jika mereka hadir, maka mereka tidak dikenal. Hati mereka merupakan pelita-pelita petunjuk , yang mengeluarkan mereka dari problem dan balak yang membingungkan.” (HR Ibnu Majjah, Baihaqi, dan Al-Hakim)


Jadi, jika seorang muslim sudah tidak memurnikan tauhid lagi dan menganggap enteng perkara-perkara yang bisa menjerumuskan ke dalam kesyirikan, maka sudah bertolak belakang dari inti ajaran islam. Jadi, jika seorang muslim masih mengagungkan keturunan/nasab, ras, dan suku, maka sudah bertolak belakang dari inti ajaran islam.


Wallahua’lam.