Makan babi jelas haram hukumnya, tetapi kadang sesuatu yang haram bisa saja dibolehkan kalau dalam keadaan darurat. Dalam keadaan normal, ketika berbagai makanan halal tersedia tentunya babi tidak boleh dimakan bagi muslim. Tetapi, apabila misalnya seseorang dalam keadaan terjebak di suatu tempat dan kelaparan padahal di tempat itu cuma ada babi, tentunya babi itu boleh dimakan. Misalnya lagi, kalau sesorang muslim terjebak di suatu tempat dan di tempat tersebut cuma ada babi dan bekicot, tentunya bekicot tersebut baik untuk dimakan daripada memakan babi.
Selain babi, yang jelas haram hukumnya salah satunya adalah
bid’ah. Bid’ah jelas dilarang dalam ajaran islam. Kalau babi yang jelas haram hukumnya
seperti bid’ah saja boleh dimakan jika dalam keadaan darurat , tentunya bid’ah dalam
keadaan-keadaan darurat juga boleh dilakukan. Intinya sesuatu keburukan boleh
dilakukan jika dalam keadaan darurat untuk mencegah keburukan yang lebih besar.
Dalam islam, dosa yang paling besar adalah dosa syirik.
Syirik adalah dosa yang sangat besar dan dilarang keras dalam ajaran islam.
Sedangkan dosa bid’ah masih di bawah syirik. Kita tahu, dulunya di nusantara
sebelum islam datang, penduduknya beragama Hindu, Buddha, dan animisme, yang
dalam pandangan islam keyakinan-keyakinan tersebut penuh dengan kesyirikan.
Penduduk di nusantara waktu itu biasa melakukan ritual-ritual peribadatan yang berbau syirik, misalnya sesaji-sesaji dan baca mantra-mantra yg tidak meng-esa-kan Tuhan. Budaya syirik yang sudah mengakar tersebut tentunya sulit diberantas meski mereka sudah memeluk islam.
Salah satu kejeniusan para pendakwah masa itu, katakanlah yang populer disebut walisongo, sedikit demi sedikit memasukkan ajaran islam dalam ritual-ritual mereka, seperti ritual 7 hari dan 40 hari kematian yang aslinya berasal dari ajaran Hindu, ritual tersebut disisipi bacaan-bacaan al-quran sebagai ganti mantra-mantra, sedangkan sesaji-sesajinya diganti dengan sedekah ke tetangga yang di jawa populer disebut berkat (besek).
Penduduk di nusantara waktu itu biasa melakukan ritual-ritual peribadatan yang berbau syirik, misalnya sesaji-sesaji dan baca mantra-mantra yg tidak meng-esa-kan Tuhan. Budaya syirik yang sudah mengakar tersebut tentunya sulit diberantas meski mereka sudah memeluk islam.
Salah satu kejeniusan para pendakwah masa itu, katakanlah yang populer disebut walisongo, sedikit demi sedikit memasukkan ajaran islam dalam ritual-ritual mereka, seperti ritual 7 hari dan 40 hari kematian yang aslinya berasal dari ajaran Hindu, ritual tersebut disisipi bacaan-bacaan al-quran sebagai ganti mantra-mantra, sedangkan sesaji-sesajinya diganti dengan sedekah ke tetangga yang di jawa populer disebut berkat (besek).
Dalam keadaan darurat, babi boleh dimakan dan bid’ah boleh
dilakukan, karena dosa syirik adalah dosa yang tak terampuni. Tetapi, ketika
sudah keluar dari keadaan darurat, dalam hal ini umat islam di nusantara sudah
jauh dari masa transisi (hindu ke islam) tentunya ritual-ritual bid’ah tersebut
sudah tidak boleh dilakukan lagi, karena dasar hukumnya bid’ah adalah haram,
sama dengan dasar hukumnya babi adalah haram, ketika sudah keluar dari tempat
yang cuma ada babi tersebut, tidak boleh lalu menghalalkan babi karena tradisi
yang dianggap baik (telah menyelamatkan nyawa/kelaparan). Kalau babi dan bid’ah
dalam hal pembahasan tersebut begitu besar jasanya, bukan berarti menghapus
keharaman keduanya.
Untuk ukuran 500an tahun lalu, dakwah yang dilakukan para wali
sudah sangat modern dan revolusioner untuk ukuran jaman itu, bayangkan dari
sesaji-sesaji yang dipersembahkan untuk demit (makhluk halus) diganti dengan
sedekah ke tetangga dengan berkat (besek), dan mantra-mantra diganti dengan
bacaan kitab suci yang berupa petunjuk hidup (kalau tahu artinya). Tetapi,
kalau kita memandang sesuatu secara tekstual, dalam hal ini mengikuti persis
apa yang dilakukan 500an tahun yang lalu, justru hal itu sangat bertolak belakang
dengan semangat para wali. Karena, tujuan dakwah ulama waktu itu adalah mengislam mayarakat hindu, budha, dan animisme. Tahlilan dan berkatan bukanlah tujuan melainkan hanyalah sebagai cara dalam keadaan darurat dimana ajaran hindu sudah masuk dalam tradisi sehari-hari yang sangat sulit dihilangkan. Sedangkan kalau sekarang tetap melestarikan tradisi tersebut, justru bisa disebut "menghindukan" masyarakat yang sudah islam.
Dikutip dari majalahfurqon.com : “Salah satu buku karangan H
Makhrus Ali yang mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di
musium Leiden Belanda, Sunan Ampel memperingatkan
Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan :
“Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena
termasuk bid'ah”. Sunan Kalijogo menjawab:
“Biarlah nanti generasi setelah kita ketika
Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan
budaya tahlilan itu”. Dalam buku Kisah dan Ajaran
Wali Songo tulisan H Lawrens pada halaman 41, 64 juga mengupas
perbedaan pendapat antara Sunan Kalijaga, Sunan Bonang,
Sunan Kudus, Sunan Gunungjati dan Sunan
Muria (kaum abangan), dengan Sunan Ampel, Sunan
Giri dan Sunan Drajat (kaum putihan) mengenai
budaya dan adat istiadat. Sunan Kalijaga mengusulkan
agar adat istiadat lama seperti selamatan, sesaji,
wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Namun Sunan Ampel
menentang : “Apakah tidak mengkhawatirkannya di
kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara
lama itu nanti dianggap sebagai ajaran
yang berasal dari agama Islam? Jika hal
ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid'ah dan
syirik?”. Sunan kudus menjawabnya bahwa ia
mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari
akan ada yang menyempurnakannya”.
Wallahua’lam.
Silahkan baca juga artikel tentang: Bahaya Laten Bid’ah di http://ketoklogic.blogspot.com/2012/12/di-balik-bidah.html