Senin, 17 Desember 2012

Bahaya Laten Bid'ah


Sebelum membaca artikel ini, silahkan baca artikel sebelumnya yang membahas definisi bidah di: http://ketoklogic.blogspot.com/2012/12/bidah.html


Dalam islam dikenal istilah-istilah seperti iman, taqwa, tawakal, kafir, bid'ah, dan lain sebagainya, tetapi kenapa definisi istilah bid'ah yang paling banyak pertentangannya di antara ummat?


Suatu istilah hukum, sebenarnya tidak hanya ada pada hukum islam, dalam hukum positifpun dikenal istilah-istilah hukum, misalnya yurisprudensi, kasasi, banding, gugatan, penyidik, tersangka, dan sebagainya. Dalam istilah-istilah hukum positif itupun juga ada arti secara bahasa maupun arti secara hukum.


Saya kebetulan lahir dari keluarga NU, Ayah saya pengurus NU, dan ibu saya pengurus Muslimat NU. Secara kultural, keluarga besar saya juga NU. Kakek saya seorang mursyid thoriqoh dan pengasuh sebuah pesantren.


Sejak kecil, saya fanatik dengan NU, baik secara organisasi maupun secara kultural. Saya sering berpikir, kenapa secara organisasi, NU kalah maju dengan Muhammadiyah. Padahal kalau dilihat jamaahnya, secara kultural jumlah orang NU jauh lebih banyak dibanding orang Muhammadiyah, tetapi kenapa secara aset, NU kalah jauh dengan Muhammadiyah baik secara kualitas maupun kuantitas.


Singkat cerita, saya sering mengamati ritual-ritual orang NU yang sering divonis bid’ah oleh orang di luar NU. Ada yang menarik, dimana ritual-ritual bid’ah ini bisa berdampak ke wilayah politik, sosial maupun ekonomi. Bagaimana ceritanya?


Seorang tokoh agama, katakanlah kyai, gus atau habib, jika mereka menjadi imam shalat di masjidnya, paling jamaahnya cuma satu RT. Tetapi, mereka akan punya jamaah di luar RT, di luar kecamatan, di luar kota, di luar propinsi, bahkan bisa di luar negeri, kalau kyai, gus, dan habib ini menjadi imam thariqoh dan dzikir bersama apapun namanya (dzikrulqhofilin, mujahadah, ratib, dsb), dan jamaah mereka bisa ribuan bahkan ratusan ribu. Dengan mempunyai jamaah yang banyak, baik diniatkan atau tidak, para tokoh agama ini akan memperoleh keuntungan politik, sosial maupun ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung.


Seorang yang sudah dewasa pemikirannya dan cukup pengalamannya tentu tahu keuntungan apa saja kalau seorang tokoh mempunyai jamaah/pengikut ribuan orang. Apalagi seorang yang sudah biasa bersinggungan dengan organisasi tentu lebih paham keuntungan apa saja apabila sesorang tokoh mempunyai ribuan jamaah/pengikut. Bahkan, andai si kyai/gus/habib memberikan jamuan/makanan gratis sekalipun kepada jamaahnya setiap acara ritual bid'ah yang ia pimpin tetap saja si habib/kyai/gus masih bisa untung secara ekonomi. Bagaimana caranya? Bagi habib/kyai/gus yang sudah berpengalaman, biasanya mengajukan proposal pembiayaan buat acara ritual bid'ahnya ke instansi pemerintah maupun swasta. Selain itu, dari ribuan jamaah yang ada juga akan otomatis muncul donatur-donatur bagi jamaah yang mampu secara ekonomi kalau tahu si habib/kyai/gus mengeluarkan biaya pribadi untuk menjamu jamaahnya. Sedang dari segi sosial, tentu strata sosial si kyai/gus/habib akan naik kalau mempunyai jamaah ribuan orang. Masih banyak keuntungann-keuntungan yang lain, tapi tidak akan saya bahas panjang lebar di sini.


Bagaimana dengan tradisi NU di kampung-kampung. Di kampung-kampung yang secara kultural NU, maka akan sering kita temui ritual tahlilan, baik saat ada orang meninggal maupun sesudahnya. Ada juga acara Manakiban untuk orang yang mau punya hajat. Ada juga acara berjanjen (dibaan) untuk kelahiran bayi. Apa keuntungan bagi tokoh agama, dengan ritual bid’ah macam tahlilan, manakiban, dan berjanjen?. Dalam kultural NU dikenal amplop/slawat berisi uang untuk kyai/gus/habib untuk imam ritual-ritual bid’ah tersebut.


Tidak bisa dielakkan lagi, bahwa ritual-ritual bid’ah memberikan keuntungan politik, sosial, dan ekonomi bagi tokoh-tokoh agama tersebut, tetapi kita tetap harus khusnudzon kepada tokoh-tokoh agama tersebut. Karena, mayoritas dari mereka melakukan ritual-ritual bid'ah tersebut bukan karena faktor politik, sosial maupun ekonomi, melainkan mereka meyakini hal tersebut adalah bid’ah hasanah (bid'ah yang baik).


Pembahasan di atas adalah dampak ritual-ritual bid’ah terhadap tokoh-tokoh agama. Bagaimana dampak bid’ah terhadap masyarakat, baik secara sosial maupun ekonomi?


Beberapa tahun yang lalu, ada keluarga saya yang meninggal dunia. Untuk biaya ritual-ritual bid’ah dan hal-hal yang dilakukan di tradisi NU setelah orang meninggal, menelan biaya sekitar 30 juta. Setelah kejadian itu saya berpikir, ternyata banyak juga biaya untuk ritual-ritual bid’ah, dan alangkah baiknya hal demikian diamalkan untuk hal-hal yang produktif, misalnya untuk yayasan pendidikan islam atau disalurkan kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkan, misalnya untuk panti asuhan.


Setelah itu saya melakukan penelitian, terhadap biaya setiap orang di kultural NU mulai sejak lahir sampai mati dan setelah mati untuk ritual bid’ah. Singkat cerita, penelitian itu menghasilkan kesimpulan, bahwa rata-rata di kultural NU, untuk biaya ritual bid’ah mulai dari lahir sampai mati dan setelah mati menelan biaya total 5 juta per orang.


Rata-rata penduduk di tiap kecamatan berjumlah 35.000 jiwa. Sekarang kita hitung, kita hitung 30.000 saja karena tidak semua penduduk berkultur NU dan Muslim. Rp 5000.000.- X 30.000 = Rp 150.000.000.000 (seratus lima puluh milyar). Silahkan 150 M kalikan beberapa generasi. Perlu diketahi sekitar 80% Muslim Indonesia secara kultural NU (melakukan ritual-ritual bid'ah).


Dengan biaya yang begitu besar, andaikan biaya ritual bid’ah ini dialihkan untuk hal-hal yang lebih produktif tentu hasilnya akan lebih bermanfaat bagi ummat. Andai saja hal itu dialihkan ke pendidikan, maka ummat islam di Indonesia akan punya Perguruan Tinggi per kecamatan. Bayangkan!!! Bayangkan, jika umat islam mempunyai Perguruan Tinggi per kecamatan, betapa akan majunya peradaban umat islam dan bangsa Indonesia.


Jadi masalah bid’ah ini tidak hanya berkaitan dengan hukum islam, tetapi juga berhubungan dengan politik, sosial, dan ekonomi. Jadi wajar kalau sampai sekarang, istilah bid'ah ini terus jadi pertentangan di antara umat islam.


Benarkah kalau kultur bid’ah ini tetap eksis maka yang jaya adalah tokoh agama, dan apabila kultur bid'ah ini hilang maka yang jaya adalah agama (umat islam)?


Wallahua’lam.

20 komentar:

  1. perasaan NU Nggak begini???????

    BalasHapus
  2. anda berlebiahan bung. Bsa jdi fitnah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya bilang mayoritas dari imam-imam bid'ah itu niatnya baik. Tapi, fakta tidak bisa disangkal bahwa mereka mendapat keuntungan dari ritual bid'ah tersebut, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk kyai-kyai kampung, mereka sangat ikhlas. Tapi untuk para habib saya agak suudzon (berdasarkan fakta-fakta yg saya tahu).

      Hapus
    2. Jangan kalian melakukan bid'ah, semua bid'ah masuk neraka loh...
      Komitmen dengan bid'ah ayo kalu naik haji gak usah dengan pesawat terbang biayanya mahal bid'ah kan...??
      jangan facebookan/ blog dan sebagainya mahal biayanya internet bid'ahkan...??
      Jangan pake adzan gak ada dasar perintah adzan bid'ah kan...??
      Apalagi ya...pokoknya yang mahal2 dalam agama dan tidak ada contoh dari Rosul itu bid'ah...!!! dan semua bid'ah masuk neraka paham...!!!!
      saya mengada2 (berdasarkan fakta-fakta yg saya tahu).

      Hapus
    3. to Anonim: kafir artinya menolak/mengingkari. Apa kalau anda menolak/mengingkari artikel ini bisa disebut kafir. Apa kalau ada masyarakat yg menolak kenaikan BBM dan TDL listrik bisa disebut kafir (secara syar'i)?

      Silahkan baca artikel "definisi bid'ah" dengan teliti dan jangan sepotong-sepotong, biar tidak berkomentar konyol :) --> http://ketoklogic.blogspot.com/2012/12/bidah.html

      Hapus
    4. faham wqahabiyyun wkwkwkwk....
      ngaku2 Ahlu Sunah Waljamaah....

      Hapus
    5. Apalah arti slogan dan klaim "katakan tidak pada korupsi" kalau kenyataannya malah terdepan dalam korupsi.
      Apalah arti slogan dan klaim "ahlussunah waljamaah" kalau kenyataannya malah jadi "ahlulbid'ah waljamaah".
      Wahabi, Muhammadiyah, dan NU, semuanya meyakini dirinya ahlussunah. Dan NU yg paling semangat ngaku dirinya ahlussunah. Tapi fakta tidak bisa dielak siapa yang nyatanya jadi ahlulbid'ah :p

      Hapus
  3. provokator.....
    pemecah belah ummat sama dengan PKI...!!!!!

    BalasHapus
  4. Ini blognya PKI gak jelas.
    Sok bener sendirri :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Utk admin, pikirkan dulu seblm berargumen,komentar,orasi atau apalah namanya, jgn semaunya sendiri agar tdk = menjilat ludahnya sendiri.
      Anda yg mendefinisikn bid'ah, yg mengaku besar dlm keluarga NU, tp anda sendiri yang melalukan bid'ah dan yg menfitnahnya, Sadarkh anda ketika belajar/membaca Al-qur'an yg skrang adalah bid'ah yg dilkukan sejak zaman khalifah Utsman bin Affan? Anda berdalih mu'amalah, kalau memang benar berarti anda munafik dan pengkhianat.
      Na'udzu billaahi mindzaalik, semoga Allah swt. Membuka mata hatimu bersama Hidayah-Nya. Amiin...
      Kemudian segera taubatan nashuha.

      Hapus
    2. Bedakan bid'ah dan kafir secara syar'i dan secara bahasa, kafir artinya menolak/mengingkari. Apa kalau anda menolak/mengingkari artikel ini bisa disebut kafir? Apa masyarakat yg menolak kenaikan BBM dan TDL listrik bisa disebut kafir?

      Silahkan baca dgn teliti dan jgn sepotong-sepotong artikel "Definisi Bid'ah" agar tidak berkomentar lucu dan konyol. Kecuali, orang-orang yg membacanya dgn emosi karena merasa kelompok/pribadinya terdiskreditkan atau karena kepentingan dunia, mustahil bisa mencerna dan menerima artikel-artikel di blog ini, hingga borkomentar tidak relevan dan tidak proporsional :)

      Hapus
    3. Anda mengaku "Saya kebetulan lahir dari keluarga NU, Ayah saya pengurus NU, dan ibu saya pengurus Muslimat NU. Secara kultural, keluarga besar saya juga NU. Kakek saya seorang mursyid thoriqoh dan pengasuh sebuah pesantren".

      Bisa jelaskan Ayah anda pengurus NU mana...? Sebagai apa...? Tahun berapa...?
      Pertanyaan yang sama IBU anda pengurus muslimat mana...? sebagai apa...? Tahun berapa...?

      Terus pertanyaan lagi Kakek anda seorang mursyid Thoriqoh...? Thariqoh apa sebutkan namanya...?? Nama kakek anda siapa ....?

      Kalau memang ini bukan sekedar pengakuan jawab dengan jujur...!!!

      Hapus
    4. Satu lagi kakek anda seorang pengasuh pondok pesantren sebutkan nama pesantrennnya dan daerahnya...???

      Sekali klo ini bukan sekedar pengakuan saja pasti anda bisa jawab.

      Hapus
    5. Mau tau aja, apa mau tau banget?

      Hapus
    6. ketok magic anda sdah smbuh ya?? alhamddlah..

      Hapus
  5. Hahahahaha... admin nya nyerah,,,,,
    udah ketauan boongnya,,,, pasti nanti jawabanya demi alasan nama baik keluarga dan bla bla bla... saya tidak mau menyebutkan.... lu tung yaang harus di ketok "logic" nya.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anda merasa terancam ya, dengan artikel di blog ini karena pombodohan ummat saya bongkar? :P

      Hapus
  6. artikelnya bagus.... tapi logis kah artikel ini????
    perlu kajian tentunya untuk mengatakan artikel ini logis dan layak dipercaya +dipertanggung jawabkan....
    untuk itu, bisakah ketok logic memaparkan metodologi penelitiannya? memakai model researc apa?sumber/refrensinya dari mana? berapa banyak sumber refrensinya??? kalo syarat2 ilmiah terpenuhi, tentunya artikel ini layak dipertanggung jawabkan, jika tidak, ya sama aja dengan tukang ngibul......

    BalasHapus
  7. Soal data di artikel ini benar atau tidak, semua orang bisa menilai, toh itu yg terjadi dalam kehidupan sehari2 yg terjadi di lingkungan daerah2 muslim di indonesia. Saya cuma mengarahkan pembaca untuk berpikir kritis dan logis.

    BalasHapus
  8. antum bner ketok logic.ane kn di saudi jdi tau ga ada ritual mcam tahlil

    BalasHapus