Selasa, 08 Januari 2013

Hukum Ubudiah dan Muamalah


Dalam hukum positif, ada istilah hukum acara dan hukum materiil, sedang dalam hukum islam ada istilah hukum ubudiah dan hukum muamalah. Kedua penggolongan hukum antara hukum positif dengan hukum islam hampir mirip meski berbeda, persamaannya salah satunya dari prinsip keduanya.
 
 
Prinsip hukum acara mirip hukum ubudiah, bahwa “semua dilarang kecuali yang telah diperintahkan/ditentukan/diatur”. Sedang prinisip hukum materiil mirip dengan hukum muamalah, bahwa “ semua boleh kecuali yang dilarang”


Prinsip hukum acara dan hukum ubudiah sifatnya tertutup dan tekstual, sedang prinsip hukum materiil dan muamalah sifatnya kontekstual, bahkan dalam hukum muamalah prinsipnya sangat terbuka dan elastis, karena dalam hukum muamalah dikenal istilah ‘illat hukum’ dan asas manfaat/madlarat. Illat hukum adalah alasan dan dasar hukum mengenai adanya sebuah aturan hukum akan larangan dan perintah (mubah, makruh, haram, halal).


Pemahaman akan prinsip-prinsip tersebut sangat penting untuk dipahami bagi para penegak hukum dalam hukum positif (polisi, jaksa, dan hakim) dan juga dalam hukum islam (mujtahid dan ulama). Setinggi apapun ilmu yang dimiliki oleh penegak hukum dan mujtahid/ulama kalau pinsip-prinsip hukum  tersebut tidak dipahami, maka akan menghasilkan keputusan/produk hukum yang rancu.


Jika dalam hukum positif, ketidak pahaman prinsip hukum tersebut membuat tidak adanya kepastian hukum dalam hukum acara. Di Indonesia hal itu sudah terjadi, contohnya diterimanya kasasi putusan bebas oleh MA. Hal tersebut menjadi perdebatan serius di antara pakar dan sarjana hukum antara yang pro dan yang kontra. Dalam hukum islam kerancuan dan ketidak pastian hukum pada perkara-perkara yang disengkatan antar sekte aliran islam  yaitu soal bid’ah.


Kasus putusan diterimanya kasasi putusan bebas oleh MA itu bisa dibilang “bid’ah dalam hukum positif”. Mereka yang pro dengan diterimanya kasasisi tersebut, berargumen bahwa ada putusan bebas murni dan tidak murni. Perlu diketahui bahwa dalam KUHAP sebenarnya cuma ada istilah bebas.  Istilah bebas murni dan tidak murni tidak dikenal dalam KUHAP. Pasal 244 KUHAP “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”.Dalam hukum islam juga demikian, dalam hadis cuma dikenal istilah bid’ah. Istilah bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah tidak ada dalam teks hadis. Hadis “kullubid’atindhalalatin wakulludhalalatin finnar” artinya “semua bid’ah adalah sesat, dan semua kesesatan tempatnya di neraka”. Kenapa para pakar hukum dan mujtahid punya pandangan hukum berbeda terhada teks KUHAP dan hadis tersebut?


Hukum adalah produk politik. Jarang ditemui putusan/produk hukum yang bebas dari politik, nafsu pribadi, sentimen kelompok, dan pembenaran perilaku pribadi dan kelompok. Awalnya Sunni dan Syiah adalah kelompok politik, tetapi kelanjutannya keduanya menjadi sekte aliran yang sangat berbeda dalam produk hukumnya. Karena, produk/putusan hukum adalah produk politik. Padahal, seharusnya dalam hukum islam; politik, sentiment pribadi dan kelompok benar-benar harus dibuang bagi para mujtahid/ulama dalam membuat produk hukum (menafsiri dalil). Jadi, selain faktor kurang pahamnya mujtahid dalam prinsip-prinsip yang sudah disebutkan di atas, faktor politik juga menjadi penyebab perbedaan penafsiran di antara sekte-sekte islam.


Kesimpulannya; setinggi apapun ilmu yang dikuasai mujtahid/ulama, jika belum paham prinsip-prinsip hukum ubudiah dengan hukum muamalah maka akan menghasilkan pemahaman/produk hukum yang rancu. Yang kedua; setinggi apapun ilmu yang dikuasai mujtahid/ulama, jika belum bisa lepas dari faktor politik (sentimen pribadi, kelompok dan antar sekte, pembenaran perilaku pribadi dan kelompok, dll) maka tetap tidak akan menghasilkan produk hukum yang netral, independen, dan Lillahita’ala.


Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar