Dalam hukum positif, ada istilah hukum acara dan hukum materiil, sedang dalam hukum islam ada istilah hukum ubudiah dan hukum muamalah. Kedua penggolongan hukum antara hukum positif dengan hukum islam hampir mirip meski berbeda, persamaannya salah satunya dari prinsip keduanya.
Prinsip hukum acara mirip hukum ubudiah, bahwa “semua
dilarang kecuali yang telah diperintahkan/ditentukan/diatur”. Sedang prinisip
hukum materiil mirip dengan hukum muamalah, bahwa “ semua boleh kecuali yang
dilarang”
Prinsip hukum acara dan hukum ubudiah sifatnya tertutup dan
tekstual, sedang prinsip hukum materiil dan muamalah sifatnya kontekstual,
bahkan dalam hukum muamalah prinsipnya sangat terbuka dan elastis, karena dalam
hukum muamalah dikenal istilah ‘illat hukum’ dan asas manfaat/madlarat. Illat hukum
adalah alasan dan dasar hukum mengenai adanya sebuah aturan hukum akan larangan
dan perintah (mubah, makruh, haram, halal).
Pemahaman akan prinsip-prinsip tersebut sangat penting untuk
dipahami bagi para penegak hukum dalam hukum positif (polisi, jaksa, dan hakim)
dan juga dalam hukum islam (mujtahid dan ulama). Setinggi apapun ilmu yang
dimiliki oleh penegak hukum dan mujtahid/ulama kalau pinsip-prinsip hukum tersebut tidak dipahami, maka akan
menghasilkan keputusan/produk hukum yang rancu.
Jika dalam hukum positif, ketidak pahaman prinsip hukum
tersebut membuat tidak adanya kepastian hukum dalam hukum acara. Di Indonesia hal
itu sudah terjadi, contohnya diterimanya kasasi putusan bebas oleh MA. Hal
tersebut menjadi perdebatan serius di antara pakar dan sarjana hukum antara
yang pro dan yang kontra. Dalam hukum islam kerancuan dan ketidak pastian hukum
pada perkara-perkara yang disengkatan antar sekte aliran islam yaitu soal bid’ah.
Kasus putusan diterimanya kasasi putusan bebas oleh MA itu
bisa dibilang “bid’ah dalam hukum positif”. Mereka yang pro dengan diterimanya
kasasisi tersebut, berargumen bahwa ada putusan bebas murni dan tidak murni.
Perlu diketahui bahwa dalam KUHAP sebenarnya cuma ada istilah bebas. Istilah bebas murni dan tidak murni tidak
dikenal dalam KUHAP. Pasal 244 KUHAP “Terhadap putusan
perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain
daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan
bebas”.Dalam hukum islam juga demikian, dalam hadis cuma dikenal istilah
bid’ah. Istilah bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah tidak ada dalam teks hadis.
Hadis “kullubid’atindhalalatin wakulludhalalatin finnar” artinya “semua bid’ah
adalah sesat, dan semua kesesatan tempatnya di neraka”. Kenapa para pakar hukum
dan mujtahid punya pandangan hukum berbeda terhada teks KUHAP dan hadis
tersebut?
Hukum adalah produk politik. Jarang ditemui putusan/produk
hukum yang bebas dari politik, nafsu pribadi, sentimen kelompok, dan pembenaran
perilaku pribadi dan kelompok. Awalnya Sunni dan Syiah adalah kelompok politik,
tetapi kelanjutannya keduanya menjadi sekte aliran yang sangat berbeda dalam
produk hukumnya. Karena, produk/putusan hukum adalah produk politik. Padahal,
seharusnya dalam hukum islam; politik, sentiment pribadi dan kelompok
benar-benar harus dibuang bagi para mujtahid/ulama dalam membuat produk hukum
(menafsiri dalil). Jadi, selain faktor kurang pahamnya mujtahid dalam
prinsip-prinsip yang sudah disebutkan di atas, faktor politik juga menjadi
penyebab perbedaan penafsiran di antara sekte-sekte islam.
Kesimpulannya; setinggi apapun ilmu yang dikuasai mujtahid/ulama,
jika belum paham prinsip-prinsip hukum ubudiah dengan hukum muamalah maka akan
menghasilkan pemahaman/produk hukum yang rancu. Yang kedua; setinggi apapun
ilmu yang dikuasai mujtahid/ulama, jika belum bisa lepas dari faktor politik (sentimen
pribadi, kelompok dan antar sekte, pembenaran perilaku pribadi dan kelompok, dll)
maka tetap tidak akan menghasilkan produk hukum yang netral, independen, dan
Lillahita’ala.
Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar