Kamis, 10 Januari 2013

Bolehkah Makan Babi dan Melakukan Bid’ah?



Makan babi jelas haram hukumnya, tetapi kadang sesuatu yang haram bisa saja dibolehkan kalau dalam keadaan darurat. Dalam keadaan normal, ketika berbagai makanan halal tersedia tentunya babi tidak boleh dimakan bagi muslim. Tetapi, apabila misalnya seseorang dalam keadaan terjebak di suatu tempat dan kelaparan padahal di tempat itu cuma ada babi, tentunya babi itu boleh dimakan. Misalnya lagi, kalau sesorang muslim terjebak di suatu tempat dan di tempat tersebut cuma ada babi dan bekicot, tentunya bekicot tersebut baik untuk dimakan daripada memakan babi.


Selain babi, yang jelas haram hukumnya salah satunya adalah bid’ah. Bid’ah jelas dilarang dalam ajaran islam. Kalau babi yang jelas haram hukumnya seperti bid’ah saja boleh dimakan jika dalam keadaan darurat , tentunya bid’ah dalam keadaan-keadaan darurat juga boleh dilakukan. Intinya sesuatu keburukan boleh dilakukan jika dalam keadaan darurat untuk mencegah keburukan yang lebih besar.
Dalam islam, dosa yang paling besar adalah dosa syirik. Syirik adalah dosa yang sangat besar dan dilarang keras dalam ajaran islam. Sedangkan dosa bid’ah masih di bawah syirik. Kita tahu, dulunya di nusantara sebelum islam datang, penduduknya beragama Hindu, Buddha, dan animisme, yang dalam pandangan islam keyakinan-keyakinan tersebut penuh dengan kesyirikan.


Penduduk di nusantara waktu itu biasa melakukan ritual-ritual peribadatan yang berbau syirik, misalnya sesaji-sesaji  dan baca mantra-mantra yg tidak meng-esa-kan Tuhan. Budaya syirik yang sudah mengakar tersebut tentunya sulit diberantas meski mereka sudah memeluk islam.


Salah satu kejeniusan para pendakwah masa itu, katakanlah yang populer disebut walisongo, sedikit demi sedikit memasukkan ajaran islam dalam ritual-ritual mereka, seperti ritual  7 hari dan 40 hari kematian yang aslinya berasal dari ajaran Hindu, ritual tersebut disisipi bacaan-bacaan al-quran sebagai ganti mantra-mantra, sedangkan sesaji-sesajinya diganti dengan sedekah ke tetangga yang di jawa populer disebut berkat (besek).
Dalam keadaan darurat, babi boleh dimakan dan bid’ah boleh dilakukan, karena dosa syirik adalah dosa yang tak terampuni. Tetapi, ketika sudah keluar dari keadaan darurat, dalam hal ini umat islam di nusantara sudah jauh dari masa transisi (hindu ke islam) tentunya ritual-ritual bid’ah tersebut sudah tidak boleh dilakukan lagi, karena dasar hukumnya bid’ah adalah haram, sama dengan dasar hukumnya babi adalah haram, ketika sudah keluar dari tempat yang cuma ada babi tersebut, tidak boleh lalu menghalalkan babi karena tradisi yang dianggap baik (telah menyelamatkan nyawa/kelaparan). Kalau babi dan bid’ah dalam hal pembahasan tersebut begitu besar jasanya, bukan berarti menghapus keharaman keduanya.


Untuk ukuran 500an tahun lalu, dakwah yang dilakukan para wali sudah sangat modern dan revolusioner untuk ukuran jaman itu, bayangkan dari sesaji-sesaji yang dipersembahkan untuk demit (makhluk halus) diganti dengan sedekah ke tetangga dengan berkat (besek), dan mantra-mantra diganti dengan bacaan kitab suci yang berupa petunjuk hidup (kalau tahu artinya). Tetapi, kalau kita memandang sesuatu secara tekstual, dalam hal ini mengikuti persis apa yang dilakukan 500an tahun yang lalu, justru hal itu sangat bertolak belakang dengan semangat para wali. Karena, tujuan dakwah ulama waktu itu adalah mengislam mayarakat hindu, budha, dan animisme. Tahlilan dan berkatan bukanlah tujuan melainkan hanyalah sebagai cara dalam keadaan darurat dimana ajaran hindu sudah masuk dalam tradisi sehari-hari yang sangat sulit dihilangkan. Sedangkan kalau sekarang tetap melestarikan tradisi tersebut, justru bisa disebut "menghindukan" masyarakat yang sudah islam.



Dikutip dari majalahfurqon.com : “Salah satu buku karangan H Makhrus Ali yang mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium  Leiden Belanda, Sunan  Ampel  memperingatkan  Sunan  Kalijogo  yang  masih  melestarikan selamatan : “Jangan  ditiru  perbuatan  semacam  itu  karena  termasuk  bid'ah”.  Sunan Kalijogo  menjawab:  “Biarlah  nanti  generasi  setelah  kita  ketika  Islam  telah  tertanam  di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”. Dalam  buku  Kisah  dan  Ajaran  Wali  Songo  tulisan H Lawrens pada halaman 41, 64 juga mengupas perbedaan pendapat antara Sunan  Kalijaga,  Sunan  Bonang,  Sunan  Kudus,  Sunan  Gunungjati  dan  Sunan  Muria  (kaum abangan), dengan  Sunan  Ampel,  Sunan  Giri  dan Sunan  Drajat  (kaum  putihan) mengenai  budaya dan adat  istiadat. Sunan  Kalijaga  mengusulkan  agar  adat  istiadat  lama  seperti selamatan, sesaji, wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Namun Sunan  Ampel  menentang : “Apakah  tidak  mengkhawatirkannya  di  kemudian  hari bahwa  adat  istiadat  dan  upacara  lama  itu  nanti  dianggap  sebagai  ajaran  yang  berasal  dari agama  Islam?  Jika  hal  ini  dibiarkan  nantinya  akan  menjadi  bid'ah dan syirik?”. Sunan kudus menjawabnya  bahwa  ia  mempunyai  keyakinan  bahwa  di  belakang  hari  akan  ada  yang menyempurnakannya”.


Wallahua’lam.


Silahkan baca juga artikel tentang: Bahaya Laten Bid’ah di  http://ketoklogic.blogspot.com/2012/12/di-balik-bidah.html

66 komentar:

  1. Alhamdulillah

    saya sepakat

    oleh karena itu sebagai generasi penerus wali wali kita terdahulu (sebagai transitor masyarakat hindu, budha ke masyarakat islam tanpa mengubah budayanya) dan sekarang islam sudah tertanam di dalam dada rakyat indonesia, maka mari kita bersama sama berislam secara totalitas dan memulai menyingkirkan budaya yang tak sejalan dengan syariat (bid'ah) yang telah ada walaupun secara bertahap, dan mengajarkan islam dengan sebenar-benarnya.semoga perjuangan Wali- wali kita terdahulu mendapatkan balasan yang baik dari Allah karena mampu merubah masyarakat hindu/buda menjadi masyarakat muslim, dan sekarang kita sebagai generasi penerus, semoga dimudahkan oleh Allah untuk malanjutkan tugas dari wali-wali pendahulu kita dengan menyampaikan islam yang benar secara menyeluruh dan membuang budaya yang tak sejalan dengan syariat (bid'ah) walaupun dengan perlahan...amin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin..
      Untuk mereka yg terdidik, hingga bisa melepaskan fanatisme kelompok, sekarang juga mulai meninggalkan bid'ah, meski terlahir dari keluarga struktural dan kultural NU. Tapi, tidak semua anak-anak tokoh NU punya nyali meninggalakan bid'ah, meski sudah sadar bahwa semua bid'ah itu sesat, karena akan dapat cibiran dari keluarga dan teman-temannya yg masih jadi ahlulbid'ah

      Hapus
  2. daging babi memang haram, karena tertulis jelas dalam al-qur'aan.
    bid'ah nggak ada aturan dalam al-qur'aan.
    beda doong om. wah...jangan2 anda belum pernah baca al-qur'aan. sayang banget....hari gini....

    BalasHapus
    Balasan
    1. to Anonim: komentar anda baru relevan kalau anda menghalalkan anjing, karena di al-quran juga tidak ada yg mengharamkan makan daging anjing. Selain itu, kecuali anda juga tidak mengimani ucapan Rasulullah SAW, baru pernyataan anda relevan :)

      Hapus
  3. sunan kudus brkata bhw di hr kmudian nnt akn ada yg mnyempurnakannya.NU lah yg mnyempurnakan pola sunan kudus n sunan kalijaga,disempurnakan mnjd totalitas ibadah,mskpn scara harfiyah usungan dr budaya lain.yg dikhawatirkn n dmksd oleh sunan ampel adlh mrujuk pd org2 wahabi,jama'ah tabligh,syiah,darul hadits,muhammadiyah,MTA,dll yg mnganggap itu semua TBC

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas ploetoet, saya kutip tulisan di atas, anda baca baik-baik

      "mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di musium Leiden Belanda, Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan : “Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid'ah”. Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”."

      Kadang fanatisme membuat orang tertutup hatinya hingga memutar balikkan fakta sampai-sampai berargumen konyol dan menggelikan :)

      Saran saya anda isi tuh blog anda, sekalian belajar menulis yang sesuai EYD :))

      Hapus
    2. buat mas abdul

      mungkin biarla generasi yg akan datang meng ubahnya

      bisa saja diubah menjadi rusak hayo gmn

      Hapus
  4. apakah tahlilan itu syirik (menyekutukan Allah ) padahal tahlilan itu kan berdzikir dipadukan dengan sholawat dan membaca alquran.. Kalo semua sesuatu yang baru itu bid'ah dan semua bid'ah haram berarti semua umat islam kafir karena menerjemakan alquran ke bahasa indonesia ..padahal ga ada 1 dalil pun yang menyatakan kalo alquran harus di artikan kebahasa setempat ,.. Tapi apa islamnya diterima yah kalo ucap syhadat tapi ga tau maknanya .. Hahha koreksi lagi lah ni blog ,indahnya menulis kalo pake ilmu , ingat setiap perbuatan dimintai pertanggung jawaban ..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anda lebay bung myudi iswahyudi, gak ada sekte/aliran islam manapun yg bilang tahlilan itu syirik. Tahlilan bid'ah tapi tidak syirik. Justru artikel di atas bilang bahwa tahlilan itu bid'ah untuk mencegah perbuatan syirik seperti sesaji dan mantra-mantra.

      Anda juga gak tahu bid'ah itu apa, hingga komentarnya gak karuwan. Baca tuh artikel Definisi Bid'ah biar gak lucu dan konyol kalau berargumen :))

      Pembaca di blog ini silahkan menilai sendiri, bagaimana kualitas para ahlul bid'ah dalam berargumen :D

      Hapus
  5. saya orang bodoh tak nyimak sajalah..tp jg gk da slhnya jk saya mathuk sama komentar mas Ploetoet sdangkan komentar mas Anonim trlalu kasar klo komntar mas Myudi okelah klo bgitu.

    Wa lanaa a'malunaa wa lakum a'malukum...maf lupa di surat apa,namanya jg orang bodoh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas Arin Arrosyid, mas ploetoet dan mas myudi sudah saya jawab. masih mathuk dan okekah? Semoga fantatisme kelompok/sekte/aliran tidak menghalangi kita untuk menerima kebenaran :)

      "Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha Tahu terhadap segala apa yang kamu kerjakan." (Q.S. An-Nisa: 135)

      Hapus
  6. Bid'ahnya orang NU bukan soal fanatisme kok... ada ajarannya. Sebab bid'ah itu ada dua (ajaran ahlussunah di antaranya dinyatakan oleh imam syafi'i), yaitu: bid'ah yang baik (bid'ah hasanah) dan bid'ah yang buruk (bid'ah sayyiah). Bid'ah yang baik adalah bid'ah yang spiritnya tidak bertentangan dengan Alquran dan hadis (meskipun tidak termaktub dalam Alquran dan hadis). Sedangkan bid'ah yang buruk yaitu bidah yang spiritnya bertentangan dengan Alquran dan hadis (dan tentu saja tidak termaktub dalam Alquran dan hadis). Di antara contoh bid'ah yang dilakukan oleh para sahabat yaitu: melakukan sholat tarawih berjamaah, memberikan titik pada huruf Alquran, mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf (dan memusnahkan mushaf-mushaf Alquran lainnya)... Juga ada landasan hadisnya: من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجره وأجر من عمل بها (barangsiapa menciptakan tradisi yang baik, maka baginya balasan baik beserta orang-orang yang mengikutinya dst.......)

    BalasHapus
  7. Oh ya, saya juga hendak komentar soal definisi bid'ah, tapi gak ada panel masuk untuk komentar jadi di sini aja komentarnya.

    Memang ada beberapa hadis yang seolah-olah memberikan makna, bahwa seluruh bid'ah adalah sesat. Akan tetapi, cara memberi makna hadis-hadis itu tidak demikian. Dalam memahami nas (Alquran dan hadis) ada istilah muqayyad dan mutlak. Satu ayat atau hadis tidak bisa dipahami dengan ayat atau hadis itu sendiri. Melainkan harus disandingkan dengan ayat atau hadis-hadis lain yang berhubungan dengan hal tersebut.

    Kelanjutan hadis yang saya sebutkan diatas:
    ........من سن في الإسلامسنة سيئة فله أجره وأجر من عمل بها....... (Barangsiapa membuat tradisi buruk di dlam Islam, maka ia akan mendapatkan balasan (buruk) dari perbuatannya dan perbuatan orang-orang yang mengikutinya). Artinya, menciptakan hal baru yang buruk (bid'ah sayyi'ah), berbeda dengan menciptakan hal baru yang baik (bid'ah hasanah).

    Dalam Alquran juga disebutkan:
    .... وافعلوا الخير لعلكم تفلحون..... (lakukanlah kebaikan semoga kalian beruntung). Kebaikan itu banyak, dan tidak terbatas yang disebutkan dalam Alquran dan hadis bukan? Artinya: lakukanlah hal-hal baik baik yang termaktub dalam Alquran dan hadis, maupun yang tidak termaktub (bid'ah hasanah).

    Dengan demikian, maka kemutlkan hadis-hadis yang saudara sebutkan dengan semua bid'ah tersebut dibatasi (muqayyad) oleh ayat Alquran dan hadis Nabi lainnya. Bahwa, yang tidak disebutkan dalam Alquran dan hadis, tidak mesti termasuk amal buruk (sayyiah), di antara hal-hal baru tersebut ada yang baik (hasanah).

    Maka, pengertian hadis-hadis yang saudara sebutkan tersebut maknanya dibatasi (muqayyad) menjadi "semua bid'ah yang buruk adalah sesat..."

    BalasHapus
  8. Bahkan praktek bid'ah sebenarnya sudah disampaikan langsung kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk "ijtihad". Saat Rasulullah SAW mengutus salah seorang sahabat untuk menjadi Qadhi di daerah yang jauh. Rasulullah bertanya bagaimana kamu akan memutus perkara? Sahabat itu menjawab: Saya akan mencari dasarnya dalam Kitabullah. Lalu ditanya oleh Rasulullah: Bagaimana jika kamu tidak menemukannya? Lalu dijawab: Saya akan mencari dalam sunnah Nabiku. Lalu ditanya: bagaimana jika kamu tidak menemukannya? dijawab: saya akan berijtihad dengan diriku sendiri. Lalu Rasulullah SAW pun memujinya.

    Artinya: tidak semua hal (jenis-jenis kebaikan dan keburukan)terhadap suatu perkara disebutkan dalam Alquran dan hadis secara jelas. Jika semua hal-hal yang tidak ditemukan dalam Alquran dan hadis disebut bid'ah, maka sahabat tersebut juga menawarkan bid'ah kepada Rasulullah bukan?

    Hanya saja, tentu sahabat tersebut berijtihad dengan menyiapkan "landasan" di dalam Alquran dan hadis (meskipun tidak termaktub, tapi selaras dan tentu saja tidak bertentangan). Hal-hal seperti itu jika kemudian diamalkan dan menjadi tradisi, maka disebut sebagai "bid'ah hasanah".

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau orang sudah berdalil berdasarkan nafsu hingga hadis-hadis yg gak relevan dibuat dasar, saya bisa apa lagi? Makanya bid'ah dan radikalisme/terorisme susah dibasmi, karena mereka punya dalil, meski dalilnya sebenarnya gak relevan dan sangat dipaksakan.

      Hadis yg anda sampaikan itu perintah untuk memberikan contoh baik di kalangan islam. Dimana sahabat waktu itu memberi contoh/kebiasaan baik yaitu bersedekah. Silahkan hadis itu ditulis semua, jangan dipotong. dan dilihat asbabul wurudnya. Hadis anda potongpun tetap tidak relevan karena namanya memberi contoh/kebiasaan baik di dalam islam jelas dianjurkan, terus apa relevansinya dengan bid'ah. Apalagi anda potong hadis itu makin terlihat membela diri dgn membabi buta dan mencari pembenaran bukan kebenaran. Hadis itu andalannya kyai2 NU, sebagai mantan ahlul bid'ah/orang NU saya sudah hafal tipikal ahlul bid'ah utk membela diri karena dulu saya juga melakukan hal tersebut:))

      Hapus
    2. Oh santai bro... di sini kita diskusi, masalah relevan atau tidak biar dibuktikan dalam argumentasi.. Kan, nama blog-nya ketok logik, jadi oke-oke saja berargumentasi ilmiah kan?

      Pertama gak masalah mengenai hadisnya ditulis lengkap. Ini saya tuliskan dalam redaksi riwayat Imam Muslim:
      حدثني زهير بن حرب حدثنا جرير بن عبدالحميد عن الأعمش عن موسى بن عبدالله بن يزيد وأبي الضحى عن عبدالرحمن بن هلال العبسي عن جرير بن عبدالله قال: جاء ناس من الأعراب إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم عليهم الصوف فرأى سوء حالهم قد أصابتهم حاجة فحث الناس على الصدقة فأبطؤا عنه حتى رؤي ذلك في وجهه. قال ثم إن رجلا من الأنصار جاء بصرة من ورق ثم جاء آخر ثم تتابعوا حتى عرف السرور في وجهه فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم من سن في الإسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل أجر من عمل بها ولا ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من أوزارهم شيء

      Hapus
    3. Kedua: Matan hadis tersebut terdiri dari dua bagian, yaitu: asbabul wurud hadis dan sabda Rasulullah SAW.

      Dalam asbabul wurud dikisahkan Rasulullah SAW menganjurkan kepada sekelompok orang agar bersedekah untuk sekelompok badui yang memerlukan pertolongan, tetapi terkesan lambat merespon anjuran Rasulullah tersebut (bukan "perintah untuk memberikan contoh baik di kalangan islam").

      Lalu tiba-tiba, datang seorang lelaki dari kaum anshor membawa bungkusan dari rumahnya diberikan kepada Orang-orang Badui tersebut. Lalu, datang orang berikutnya, sehingga berturut-turut dan Rasulullah tampak gembira lalu bersabda:

      "Barangsiapa membuat "jalan/cara/metode/perilaku" yang baik (umum/bukan hanya sedekah), lalu diikuti oleh orang setelahnya (men-tradisi), maka dicatat baginya pahala orang yang mengikutinya tersebut, tanpa mengurangi pahala mereka. Dan sebaliknya, barangsiapa membuat "jalan/cara/metode/perilaku" yang buruk (umum, bukan hanya menahan diri dari sedekah), maka dicatat baginya dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa harus mengurangi dosa-dosa mereka"...

      Hapus
    4. Ketiga: Kenapa hadis tersebut bersifat umum? tidak khusus sedekah?

      1. Lihat redaksi matan hadis. asbabul wurudnya memang khusus, tapi kemudian Rasulullah melanjutkan dengan "pernyataan yang jelas" secara umum (segala hal baik dan segala hal buruk/tidak menyatakan khusus sedekah).

      2. Secara bahasa, "sunnatan hasanatan" berbentuk nakirah. Dalam bahasa artinya "meliputi" segala kategori di dalamnya alias umum. Juga kata "sunnatan sayyiatan" berbentuk nakirah. Dalam bahasa artinya "meliputi" segala kategori di dalamnya alias umum. Artinya: segala hal baik dan segala hal buruk...

      Hapus
    5. Keempat: Ini penjelasan imam nawawi dalam syarah muslim:

      من سن في الاسلام سنة حسنة فله أجرها ) إلى آخره فيه الحث على الابتداء بالخيرات وسن السنن الحسنات والتحذير من اختراع الاباطيل والمستقبحات وسبب هذا الكلام في هذا الحديث أنه قال في أوله فجاء رجل بصرة كادت كفه تعجز عنها فتتابع الناس وكان الفضل العظيم للبادى بهذا الخير والفاتح لباب هذا الاحسان وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه و سلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة وقد سبق بيان هذا في كتاب صلاة الجمعة وذكرنا هناك أن البدع خمسة أقسام واجبة

      Inti penjelasan Imam Nawawi di atas adalah sebagai berikut.

      1. Hadis tersebut berisi anjuran untuk memulai segala kebaikan dan menciptakan segala tradisi yang baik, sekaligus berisi larangan menciptakan segala kebatilan.

      2. Hadis ini mengandung "takhsis" (pembatas keumuman) hadis: "segala hal baru adalah bid'ah dan segala bid'ah adalah sesat". Maksud hadis tersebut adalah segala hal baru "Yang batil" dan bid'ah "Yang Tercela" adalah sesat.

      Hapus
    6. Kelima: Bahkan di atas sudah saya sebutkan penjelasan bid'ah menjadi dua: bid'ah hasanah dan bid'ah sayyiah dilakukan oleh imam syafi'i.

      Sebagai mantan "orang NU" pernah ngaji yang ini belum?? Kalau sudah pernah, silakan dijawab. Tapi jawabannya yang ilmiah ya. Kan blog saudara ini namanya: "ketok logik".

      Jadi, bagi saya, saudara adalah orang NU atau bukan orang NU tidaklah penting. Yang penting dasar pengetahuannya bisa dipertanggung jawabkan.

      Di antara caranya, saudara silakan menjawab argumentasi saya poin perpoin.

      Hapus
    7. Trimakasih Gus Ahmadnurkholid Full, argumen nya mantap. menambah ilmu saya.

      Hapus
    8. Mas Ahmad: dari awal saya tidak bilang itu khusus perintah sedekah. Sila cek lagi! Sekalian baca lagi artikel "definisi bid'ah" dengan teliti jangan sepotong-sepotong.

      Saya jelaskan lagi kalau kurang jelas: Hadis itu bersifat pemberitahuan barangsiapa yang melakukan perbuatan baik/buruk lalu diikuti/dicontoh orang lain maka akan ikut mendapat pahala/dosa. Contoh kita sedekah lalu ditiru teman-teman saya, saya dapat pahala karena teman saya mencontoh saya, contoh lain kita jamaah lalu ditiru tetangga2 kita, saya dapat pahala ketika tetangga2 saya shalat berjamaah karena lantaran saya yg memberi contoh. Contoh yg buruk kita berkata kasar pada orang tua lalu dicontoh adik-aidk kita, kita ikut dapat dosa karena adik kita berkata kasar karena mencontoh kita. Contoh lain misal saya melakukan shalat subuh 4 rakaat lalu dicontoh tetangga2 saya yg bodoh maka saya ikut dosa karena telah menciptakan bid'ah lalu ditiru tetangga2 saya.

      Yang perlu anda renungkan, bid'ah itu bahasa arab. orang timur tengah termasuk imam syafii dan nawawi kalau mau berkata/menulis "menciptakan/membuat yg baru" maka menggunakan kata bid'ah. paham?. secara bahasa memang ada bid'ah hasanah dan sayyiah, tapi secara syar'i gak ada bid'ah hasanah dan sayyiah. bahkan kalau secara bahasa boleh2 aja ada kafir hasanah dan sayyiah, tapi tidak utk secara istilah/syar'i. secara bahasa bisa saja kafir akan kebatilan, lalu disebut kafir hasanah. (kafir=menolak/mengingkari)

      sekali lagi tolong baca lagi artikel "Definisi Bid'ah" dengan teliti biar rada bermutu kalau mau diskusi. Argumen-argumen di atas gak seharusnya anda lontarkan kalau sudah memahami tulisan di artikel "definisi bid'ah"



      Hapus
    9. Saudara admin ketok logic: Saya di sini hanya hendak diskusi sebab ini adalah pengetahuan yang memuat nilai "salah-benar", saya juga tidak bermaksud agar saudara sependapat dg saya. Dan masalah "bermutu atau tidak bermutu", biarkan setelah ada pembuktian argumentasi.

      Untuk jawaban saudara di atas saya ada beberapa catatan:

      Pertama: Ya, saya memang hanya ingin memperjelas ketegasan saudara bahwa hadis tersebut bersifat umum. Artinya, anjuran saudara untuk "mencantumkan" asbabul wurud bukanlah hal "krusial". Sebab hadis tersebut sudah bisa diberi makna dengan bagian matan hadis yang merupakan sabda Rasulullah. Dengan demikian kita juga bisa mengamalkan kaedah: "al-'ibratu bi 'umuumi al-lafdzi laa bi khushush al-sabab" (makna nash diambil dari keumuman kalimat, bukan dari kekhususan sebab).

      Nah, sekarang apa penegertian: "سن سنة حسنة" dan "سن سنة سيئة" dalam matan hadis tersebut? Saya sudah kutipkan pendapat imam Nawawi terhadap kandungan makna hadis secara keseluruhan:
      فيه الحث على الابتداء بالخيرات وسن السنن الحسنات والتحذير من اختراع الاباطيل والمستقبحات

      Artinya:
      Kandungan hadis tersebut bukan hanya anjuran memulai kebaikan (dalam bahasa saudara "memberi contoh yang baik" sbgimana nampak dalam asbabul wurud). Akan tetapi, juga anjuran untuk menciptakan (baru) segala "jalan/cara/metode/perilaku" yang baik serta memperingatkan menciptkan (baru) kebatilan-kebatilan dan keburukan-keburukan (sebagaimana nampak dalam sabda Rasulullah SAW).

      Nah, silakan dicermati matan hadis ini. Dan saudara akan menemukan relevasinya dengan pembagian bid'ah menjadi bid'ah hasanah dan bid'ah sayyiah.

      Jadi pembagian itu didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW (syar'i), bukan tanpa dasar (hanya berdasarkan bahasa).

      Karena itu imam Nawawi berikutnya menjelaskan:
      وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه و سلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة


      Artinya:
      Hadis ini mengandung "takhsis" (pembatas keumuman) hadis: "segala hal baru adalah bid'ah dan segala bid'ah adalah sesat". Maksud hadis tersebut adalah segala hal baru "Yang batil" dan bid'ah "Yang Tercela" adalah sesat.

      Kalau anda menanyakan di mana relevansinya dengan bid'ah, ya di sini relevansinya dengan bid'ah. Imam Nawawi bisa melihat relevansinya, saudara sudah bisa memahami relevansi-nya atau belum??

      Hapus
    10. Kedua: Saya juga sudah membaca artikel saudara soal bid'ah, sayang tidak bisa dikomentari di bawahnya. Jadi, ini adalah bagian dari komentar saya.

      1. Jika membicarakan bid'ah dalam agama, jelas maksudnya adalah syar'i. Sebab membicarakan pembagian bid'ah secara bahasa tidak ada urgensi hukumnya (dan lucu). Anda terkesan meremehkan para sahabat dan imam-imam kaum muslimin tidak mengerti konteks pembicaraan mereka. Untuk membantah kesimpulan saudara, cukuplah penjelasan imam nawawi di atas dalam mensyarah hadis "من سن في الإسلام سنة حسنة... إلخ". Bahwa pembagian bid'ah menjadi dua tersebut, bukan berdasarkan bahasa.

      2. Anda mengatakan: "....Selain itu, kita tahu perilaku sahabat dan ulama salaf juga cuma dari riwayat, sedang standar periwayatan perilaku sahabat dan ulama salaf tidak seketat standar periwayatan hadis...". Lagi-lagi anda meremehkan tradisi riwayat. Sepertinya, anda nggak ngerti ilmu riwayat. Bahwa kekuatan riwayat beriringan dengan perkembangan tafsir dan periwayatan hadis. Sebab, penjelasan mereka digunakan sbagai tafsir ayat atau syarah hadis. Dan setiap perkataan dan perilaku mereka juga dicatat sebagai bahan jarh wa ta'dil yang menjadi penyangga diakui atau tidaknya sebuah hadis.

      3. Anda juga mengatakan: "....Perlu diketahui juga, bahwa perilaku sahabat tidak semua benar dan harus diikuti, karena para sahabat tidak maksum seperti Nabi.....". Lagi-lagi anda meremehkan. Anda lupa, bahwa yang salah dari para sahabat akan terkoreksi oleh sahabat lainnya. Sebab, bukan tradisi umat Islam, diam-diaman terhadap kesalahan yang dilakukan oleh saudaranya. Misalnya, orang-orang yang memerangi Sayyidina Ali adalah salah sudah banyak dijelaskan. Kalau mereka mendiamkan sesuatu berarti mereka menyepakatinya, itu yang disebut sebagai ijma' sukuti. Dan itu menjadi landasan hukum berdasarkan sabda Rasulullah SAW: "لا تجتمعوا أمتي على الضلالة".

      4. Anda mengatakan: "....Tidak ada definisi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi'ah, karena kalau ada bid’ah hasanah dan sayyiah maka akan bertentangan dengan hadis "kullu bid'atin dholalah, wa kullu dholalatin finnar". Hadisnya yang saudara kutip tidak salah, tapi pengertian yang saudara simpulkan bermasalah. Hadis tersebut di antaranya harus "di-takhsis" dg hadis "من سن في الإسلام سنة حسنة... إلخ". Jadi, tidak ada pertentangan.

      5. Anda mengatakan: "..dan bid’ah hanya menyangkut perkara peribadatan yang baru atau inovasi dalam ritual peribadatan..". pernyataan saudara bertentangan dengan hadis: "...مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ". "Barangsiapa membuat hal baru dalam urusan agama (bersifat umum) yang tidak memiliki "sandaran" dalam agama, maka amalnya ditolak". Contohnya: kaum mu'tazilah yang beranggapan bahwa alquran adalah makhluk (keimanan/bukan ibadah) oleh para ulama disebut dengan bid'ah. Coba carikan dasar, bahwa hadis ini ditakhsis, khusus untuk peribadatan.

      Silakan dijawab...


      Hapus
    11. tunggu ae mas.dia mgkn msh cari bantuan ksana kmari.ato mgkn dia lg sms kiai musta'in kastam di kuburan

      Hapus
    12. Mas Ahmad, Sebenarnya saya malas berargumen dgn ahlul bid'ah, karena banyaknya argumen2 dan dalil-dalil yg sangat tidak relevan yg dilontarkan. makanya saya setting tidak bisa komen di artikel "definisi bid'ah", selain itu byk yg komen tapi malah belum baca artikelnya, selain itu juga banyak sekali komen yg hanya caci maki.

      OK. saya tunjukkan argumen membabi buta anda lagi.:
      Dalil berijtihad anda bawa2 dlm urusan bid'ah, padahal ijtihad hanya boleh dlm ranah muamalah murni dan muamalah yg mengikuti dlm ubudiah. Contoh misal hukum bayi tabung, belum ada zaman Nabi, maka ulama harus berijtihad. Soal contoh ubudiah: zaman Rasul tidak ada tsunami di madinah & mekkah, ketika ada tsunami di indonesia, tetap tidak boleh lalu berijtihad untuk membuat perkara ubudiah misalnya dengan membuat shalat sunnah sunami.

      Selain itu, anda gagal paham. yg saya tekankan adalah strata hukum: bukan bertujuan meremehkan karena saya bandingkan dengan yg lebih mulia dan yg lebih mutlak kebenarannya. Di sisi lain tidak ada amalan satu shahabat dan ulama madzhab 4 yg dianggap bid'ah di artikel tersebut. Sunnah sendiri ada sunnah muamalah (misal bersiwak & wewangian) dan sunnah ubudiah (misal shalat tahiyatul masjid). Anda boleh menciptakan tradisi sigat gigi pakai pasta gigi meski zaman Rasul gak ada, tapi tidak boleh membuat shalat sunnah sunami.

      Kalau cuma ngasih dalil yg gak relevan, maka anda bisa menyodorkan ribuan dalil. Padahal sudah saya kasih warning di artikel "definisi bid'ah" dengan contoh bahwa dalil anjuran shalat berjamaah byk sekali, sekalian silahkan tambahkan hadis2 yg anda anggap hadis boleh melakukan bid'ah hasanah itu. Toh jumhur ulama sepakat shalat tahiyatul masjid berjamaah adalah bid'ah. padahal gak ada satu teks hadispun yg secara terang-terangan melarang shalat tahiyatul masjid berjamaah. Karena esensi dari hukum ubudiah adalah perilaku nyata yg dilakukan Rasul yg bersifat statis, beda dgn hukum muamalah yg kontekstual dan dinamis.

      Makanya di atas saya sampaikan, perilaku bid'ah dan radikalisme/terorisme dalam ummat islam sulit dibasmi, karena mereka selalu punya dalil meskipun sebenarnya tidak relevan dan sgt dipaksakan. Apalagi lagi bid'ah di indonesia sudah jd ladang bisnis dan kepentingan politik, wajar kalau byk yg mencak-mencak dgn artikel2 di blog ini karena mungkin merasa kepentingannya bisa terganggu karena ummat akan tercerahkan :)

      Hapus
    13. Okay, saya tampung dulu penjelasan saudara admin. Tapi saya rasa ada dua poin penting yang perlu saya ingatkan.

      Pertama: menurut saya, saudara admin perlu fokus pada topik pembicaraan. Soal ahlul bid'ah, radikalisme/terorisme, kepentingan-kepentingan, dan pencerahan, saya rasa adalah ungkapan yang selalu saudara ulang-ulang. Saya sudah mengerti sisi lain argumentasi saudara. Nanti saya akan jawab soal itu. Kita pisah dulu biar tidak campur baur. Satu persoalan belum terurai, tapi perlahan bergeser.

      Kedua: poin penting yang saya maksud adalah persoalan takhshish (membatasi keumuman). Pernah belajar soal taqyid al-muthlaq dan takhshish al-'am?

      1. Kalau sudah pernah, silahkan menjawab bantahan saya bahwa hadis bid'ah yang sering saudra kutip, keumumannya dibatasi (urainnya di atas). Dari penjelasan saudara ini, nanti kita bisa melihat apakah dalil saya itu relevan atau tidak? Kalau tidak relevan, silakan dibuktikan. Kan, biar saya juga bisa belajar dari kebenaran yang saudra tawarkan. Blog ketok logic berarti kan harus logic dan menjujung keterbukaan dan kejujuran terhadap kebenaran.

      2. Jelaskan juga dalil yang men-takhshish keumuman hadis tentang bid'ah yang saudara kutip, bahwa bid'ah hanya berlaku pada ritual ibadah.

      Monggo dijawab....

      Hapus
  9. yowhis bro

    dibuktino pas wayae mati ae

    BalasHapus
  10. Ini benar semua ato salah semua ya??
    Pinter² semua ya...
    Jadi bingung ni...

    BalasHapus
    Balasan
    1. laiyo aku yo bingungki kbeh mrs bnr

      Hapus
  11. hukum mu'amalah dan hukum 'ubudiyah tu setting diniyyah yg bid'ah lho.emang nabi prnh mendasarkan soal itu dan mnyebut kata mu'amalah n 'ubudiyyah?jgn2 ini setting dari ulama alias ijtihad ulama yg dmn kehadiran ijtihad ulama ini justru ditolak dan dibatalkan oleh org2 yg sok murni agamanya.krn ijtihad ulama adlh bagian dr ijma' qiyas

    BalasHapus
  12. pilih salah satu admin atau AHMADNURKHOLID FULL
    kalo ane milih AHMADNURKHOLID FULL

    BalasHapus
  13. All: Semua muslim WAJIB MEYAKINI bahwa yang BENAR adalah IBADAH yg DICONTOHKAN RASULULLAH SAW. Meski jika ada muslim yg belum mampu meninggalkan ritual bid'ahnya, maka tetap harus meyakini hal tersebut karena kalau sampai tidak meyakini hal tersebut maka rusaklah iman seorang muslim.


    Mas AHMADNURKHOLID FULL: Saya gak akan masuk ke ushul fiqh amm & khas, mutlaq & muqayyad (lex generalis & lex spesialis) karena teori itu bisa dipakai kalau kedua dalil ada relevansinya. Yg kedua; Dlm ranah ubudiah usul fiqh yg dipakai adalah yg nyata dilakukan Rasul, contohnya banyaknya dalil dan anjuran shalat berjamaah tetapi jumhur ulama tetap menganggap bid'ah bila shalat tahiyatul masjid berjamaah meski tidak ada satu teks hadispun yg melarang shalat sunnah tahiyatul masjid berjamaah. Jadi dalil yg sangat sangatlah relevan pun pada dasarnya tidak bisa masuk dlm teori lex genaralis & lex spesialis untuk ranah ubudiah. Tentu sangat sangatlah super relevan dalil-dalil anjuran dan keutamaan shalat berjamaah disandingkan dengan anjuran shalat tahiyatul masjid. Toh kedua dalil itu tidak bisa disandingkan. Jadi andaikan dalil yg anda lontarkan itu sangat sangatlah relevan sekalipun tetap tidak bisa untuk membenarkan amalan2 bid'ah.

    Meski dalil yg anda sebutkan itu tidak penting lagi dlm hal ini, jika anda belum menerima ketidak relevannya, saya jelaskan lagi:

    Dalil anda: من سن في الاسلام سنة حسنة artinya (kata perkata): barangsiapa - mencontohkan - di dalam islam - contoh - yang baik ... ... ..., lalu kita sandingkan dengan dalil: semua bid'ah adalah sesat, dan semua kesesatan di neraka.
    1. Sunnah dan Bid'ah adalah kata yg sangat beda maknanya. baik secara bahasa maupun secara istilah.
    2. Sunnah yg baik dan sunnah yang buruk disandingkan semua bid'ah sesat, semua kesesatan di neraka. Sunnah di sini meski dlm hadis tentunya adalah sunnah secara bahasa, karena kalau secara istilah syar'i yg sekarang kita pahami bahwa sunnah adalah contoh dari Nabi tentunya semua sunnah baik, mana ada sunnah buruk. poin yg kedua: buruk dan sesat adalah kata yg berbeda.

    Logika sederhana saja: misal bid'ah = kucing, lalu sunnah = harimau, misalnya ada dalil "semua kucing tersesat, semua yg tersesat di jurang". Lalu nyolot bilang: Tidak semua kucing tersesat, ada kucing yg baik dan ada kucing yg buruk, ini dalilnya "harimau di hutan yg baik akan dapat hadiah, harimau di hutan yg buruk akan dapat sanksi". Seperti yg sering ahlul bid'ah bilang; tidak semua bid'ah sesat, ada bid'ah hasanah dan sayyiah. ini dalilnya: ... .... ...

    Kedua dalil itu maksud kalimatnya tidak ada relevansinya, kecuali relevansi kata saja. misalnya relevansi kucing dan harimau sama-sama hewan, bid'ah dan sunnah sama-sama bahasa arab dan jadi salah satu istilah dlm hukum islam. relevansi lain: sesat dan buruk sama-sama gak baik.

    Soal pertanyaan yg kedua, sudah ada jawabannya di artikel "Definisi Bid'ah" kalau dicermati dan bisa memahaminya.

    Penutup: Membuat ritual peribadatan adalah hak Allah, dan orang yg paling benar dlm melakukan ritual peribadatan adalah RasulNya. Makanya Rasul dulu pernah menegur muslim yg lebay (ghuluw) dalam ritual peribadatan. (Lihat hadis-hadis dimana Rasul menegur orang yg memodifikasi puasanya, dan menegur orang yg berlebih-lebihanan dlm ibadah sampai menyelisihi dengan yg dicontohkan Nabi)

    Wallahua'lam

    Barakallahu fikum

    BalasHapus
  14. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  15. Saudara admin,

    Ini adalah catatan saya terhadap pandangan saudara:

    Pertama: Soal sikap ilmiah. Tidak ada yang memungkiri ibadah sholat harus sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Dan ini berlaku untuk semua hal, seperti: keimanan (rukun iman yang enam dan segala berkaitan dengannya), ibadah (rukun islam dan segala hal berkaitan dengannya), mu'amalah (jual beli, pernikahan, urusan pemerintahan, dan lain sebagainya), dan akhlak (kepada Allah, kepada Rasulullah, kepada orang tua, anak, tetangga, non muslim dan lain sebagainya). Dalam semua hal tersebut, ada hal-hal pokok yang tidak boleh dilanggar.

    Masalahnya, untuk memahami bagaimana Rasulullah SAW sholat misalnya, terlebih dahulu dilakukan pemahaman tata cara Rasulullah sholat dalam hadis-hadisnya. Para ulama memahami hadis-hadis tersebut dengan perangkat ilmu (di antaranya dg 'am dan khas, mutlaq dan muqayyad). Lalu, mereka menyimpulkan mana yang menjadi rukun dan mana yang menjadi sunah. Lalu kita tinggal mengikuti kesimpulan para ulama dalam tiap-tiap madzhab. Meskipun demikian, masih ada beberapa khilaf. Di antaranya bacaan basmalah apakah bagian dari ayat dari surat fatehah atau bukan, masalah qunut, apakah disunahkan atau tidak dan lain sebagainya.

    Bayangkan, betapa piciknya cara berfikir seseorang yang hanya berdasarkan hafalannya terhadap satu dua hadis, lalu mengklaim yang lainnya tidak sesuai dengan cara Rasulullah SAW. Lebih picik lagi, jika tidak mau tahu dan mengabaikan dalil-dalil yang ada. Lalu bersikap tidak ilmiah, yaitu "pokoknya Rasulullah begini" sebagai klaim bahwa yang lain tidak sesuai dengan Rasulullah. Bukankah yang demikian itu, yang disebut fanatisme?

    Semoga saudara admin tidak demikian.

    BalasHapus
  16. Saudara admin, ini adalah catatan saya berikutnya terhadap uraian saudara di atas,

    Kedua: saudara mengatakan "....من سن في الاسلام سنة حسنة artinya (kata perkata): barangsiapa - mencontohkan - di dalam islam - contoh - yang baik ...". Coba saudara cari saksi ilmiyah (kamus yang otoritatif) bahwa arti "sanna" adalah mencontohkan dan "sunnah" berarti contoh (baca uraian saya di atas).

    Kalau saudara bisa menemukan saksi lmiyah tersebut, barulah argumentasi saudara tentang logika harimau dan kucing, layak untuk dipertimbangkan dan didiskusikan.

    Monggo dicari..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, saya salah. Lebih diterima kalau diartikan "perilaku". Tetapi kalau soal logika kucing dan harimau, mau sunnah diartikan contoh ataupun perilaku, hemat saya tidak ada pengaruhnya, karena sunnah dan bid'ah adalah kata yg berbeda artinya.

      Perlu saya tekankan lagi, dlm tulisan-tulisan saya tidak ada satupun vonis bid'ah terhadap sahabat dan ulama salaf (imam madhab 4). Kenapa? Karena mereka punya dalil yg nyata dlm ubudiah, perbedaan mereka bukan hal yg diada-adakan tetapi karena ada dua dalil yg berbeda, misalnya qunut, memang ada dua hadis perilaku Rasul nyata yg mengatakan Rasul pakai qunut dan juga ada hadis perilaku Rasul yg nyata yg menyatakan tidak pakai qunut. Berbeda dengan perilaku ritual peribadatan orang sekarang yg divonis bid'ah, tidak ada dalil perilaku Rasul yg nyata, padahal sudah ada warning dalil bahwa semua bid'ah sesat.

      Soal metode: amm dan khas, mutlaq dan muqayyad bukannya saya mengabaikannya, cuma dlm ranah ubudiah lex spesialisnya itu perilaku Rasul yg nyata, dan ini yg dipakai ulama salaf (madzhab 4) dengan bukti shalat tahiyatul masjid tidak ada yg berjamaah. Bahkan, kalau mayoritas orang NU yg selama ini dianggap ahlul bid'ah konsisten dengan ajaran mereka, bahwa dlm ritual ubudiah mengikuti imam madzhab 4 (hanafi, maliki, syafii, hambali) saya gak akan teriak-teriak soal bid'ah.

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    4. Nah selanjutnya begini saudara admin,

      Pertama:
      1. "سنة" artinya: perilaku, jalan, atau metode,
      2. "سن" artinya: membuat atau menciptakan. Konsekuensi dari kata "membuat atau menciptakan" adalah sesuatu yang baru. Kalau sebelumnya sudah ada contohnya, bukan "سن" lagi tapi sudah "اتبع" atau mengikuti. Karena itu, dia sinonim dengan "اخترع" dan "بدع".

      Dengan demikian, maka "من سن في الإسلام سنة حسنة " artinya membuat perilaku baru yang baik (bid'ah hasanah) dalam agama. Itu yang menjadi landasan imam nawawi dan lain-lainnya mengatakan bahwa hadis tersebut adalah takhsish (membatasi keumuman) hadis semua bid'ah adalah sesat. Arti hadis "كل بدعة ضلالة" karena ditakhshish, maka pengertiannya menjadi "كل بدعة سيئة ضلالة" (semua bid'ah yang buruk adalah sesat).

      Karena "سن سنة" dan "بدعة" adalah sinonim, maka logika kucing dan hariau saudara tidak relevan.

      Kedua: Lalu bid'ah sayyiah dalam ibadah itu bagaimana? Ya, yang tidak ada landasannya atau bertentangan dengan Alquran dan hadis. Apakah tahlilan tidak ada landasannya? jelas ada. Praktek tahlilan dalam masyarakat adalah kombinasi dari silaturahim, perintah membaca Alquran, perintah dzikir, perintah membaca sholawat, perintah membaca hamdalah, perintah membaca tasbih, perintah membaca istighfar, perintah bersedekah, mendoakan leluhur dan kaum muslim, dan lain sebagainya.

      Apakah mengkombinasikan (membuat urutan yang hendak dibaca) itu dilarang? gak ada dalil yang melarangnya. Misalnya, setelah istighfar dilarang membaca sholawat atau sebagainya? Semua masuk keumuman perintah untuk berdzikir dan membaca ayat Alquran, kapan saja, di mana saja, dan bagaimanapun tata cara berdzikirnya. Klau ada takhsis, silakan ditunjukkan hadis atau ayat yang mentakhsis keumuman perintah tersebut.

      Lalu apa yang tidak boleh? menyatakan bahwa urut-urutan dzikir tahlilan adalah wajib (disyariatkan harus demikian). Juga menyatakan bahwa tahlilan adalah diwajibkan oleh Allah ta'ala. Sebab pernyataan tersebut dapat menyebabkan dia membuat sebuah syariat baru.

      Jika belum sampai pada level tersebut, maka tidak bisa disebut membuat mebuat syariat baru, sebab ada keumuman perintah untuk melakukan segala hal yang ada dalam prosesi tahlilan yang kita kenal.

      Silakan memberikan tanggapan

      Hapus
    5. Tambahan:

      syarah hadis semua bid'ah adalah sesat:
      1. Dalam Fath al-Bari Syarh Bukhari, karya Ibn Hajar al-'Asqalani:

      قَالَ الشَّافِعِيّ " الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّة فَهُوَ مَحْمُود وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم ".

      Artinya:
      Imam Syafi'i berkata: Bid'ah ada dua, yaitu: bid'ah terpuji dan bid'ah tercela. Bid'ah yang sesuai dengan sunnah (tidak bertentangan)adalah yang terpuji. Sedangkan bid'ah yang berseberangan dengan sunnah adalah bid'ah tercela.

      2. Penjelasan al-Mundziri dalam 'aunul ma'buud:

      قَالَ الْمُنْذِرِيُّ : وَالْمُحْدَث عَلَى قِسْمَيْنِ مُحْدَث لَيْسَ لَهُ أَصْل إِلَّا الشُّهْرَة [ الشَّهْوَة ] : وَالْعَمَل بِالْإِرَادَةِ فَهَذَا بَاطِل ، وَمَا كَانَ عَلَى قَوَاعِد الْأُصُول أَوْ مَرْدُود إِلَيْهَا فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَا ضَلَالَة

      Artinya:
      Al-Mundziri berkata: al-muhdats (amal yang diadakan/baru) ada dua, yaitu: al-muhdats yang tidak ada landasan, melainkan hanya dorongan hawa nafsu, melaksanakan yang ini adalah batil. Dan al-muhdats yang sesuai dengan kaidah-kaidah dasar dalam beragama, serta dirujukkan kepada kaidah-kaidah tersebut. al-muhdats yang seperti ini bukanlah bid'ah dan tidak sesat.

      3. Sedangkan penjelasan saudara tentang klasifikasi bid'ah secara bahasa dan secara syara' adalah penjelasan al-Hafidz ibn Rajab dalam 'aunul ma'buud, demikian penjelasannya:

      وَالْمُرَاد بِالْبِدْعَةِ مَا أُحْدِثَ مِمَّا لَا أَصْل لَهُ فِي الشَّرِيعَة يَدُلّ عَلَيْهِ ، وَأَمَّا مَا كَانَ لَهُ أَصْل مِنْ الشَّرْع يَدُلّ عَلَيْهِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ شَرْعًا وَإِنْ كَانَ بِدْعَة لُغَة

      Artinya:
      Maksud dari bid'ah adalah hal baru yang diadakan dalam Agama serta tidak memiliki landasan dalam syariah yang bisa dijadikan rujukan. Adapun yang memiliki landasan dalam syariah, secara syara' tidak bisa disebut bid'ah, meskipun dia adalah bid'ah secara bahasa (sebab hal tersebut baru).

      Penjelasan ketiga hal imam ini tidak bertentangan, perbedaan tersebut hanya dalam istilah saja. Dan masing-masing memiliki argumentsi. Klau pun saudara bermaksud mengikuti peristilahan yang digunakan al-Hafidz Ibn Rajab, sebenarnya juga tidak masalah.

      Yang menjadi masalah adalah saat saudara menafikan nilai kebenaran pendapat yang lain. Penjelasan Imam Nawawi yang saya sebutkan di atas termasuk yang membantah kemutlakan kebenaran "peristilahan" yang digunakan al-Hafidz Ibn Rajab ini. Tetapi, secara substansi adalah sama (tidak ada perbedaan).

      Kesamaan dari semua pendapat tersebut adalah mengakui adanya "hal baru" (al-muhdats/bid'ah) "yang sesuai" dengan sunnah yang bagi al-hafidz ibn rajab tidak disebut bid'ah.

      Pengertian "hal baru yang sesuai" menunjukkan adanya landasan tersebut tidaklah diambil secara langsung, melainkan "dipahami" setelah melakukan pendalaman. Misalnya, al-Hafidz Ibn Rajab mencontohkan Khalifah Utsman yang menambahkan adzan jumat yang pertama sebab masyarakat membutuhkannya. Lalu, dilanjutkan oleh Sayyidina Ali dan berlangsung hingga sekarang.

      Kalau yang saudara pahami seperti ini, maka bisa jadi sebenarnya saudara tidak berseberangan dengan amaliyah orang NU. Permasalahan saudara hanya soal "terlalu cepat" menyimpulkan bahwa amaliyah orang NU tidak ada landasannya.

      Coba saudara renungkan kembali......

      Hapus
  17. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  18. Mas Ahmad Nur Kholid Full: Saya koreksi tulisan anda yg mengartikan “sanna” dengan “membuat/menciptakan”, saya rasa orang yg sangat awam bahasapun tahu kalau “pencipta” itu “khalik”

    Sedangkan pengertian saya:

    سنة artinya perilaku yg mengandung unsur percontohan, ini yg membedakan arti kata sunnah dengan kata 'amal. Kalau perilaku yg sifatnya umum, bisa ada unsur percontohan atau tidak ada unsur percontohan, maka disebut ‘amal. Pada dasarnya tidak ada satu kata yg dari bahasa Indonesia yg mewakili kata sunnah, hingga harus diartikan dengan beberapa kata.

    سنة bentuk masdar yg artinya “perilaku percontohan” sedang سن bentuk fi’il yg artinya “melakukan percontohan”

    OK. Di atas saya sudah ngalah untuk mengabaikan asbabul wurud, skrg saya ngalah lagi gak apa-apa kalau anda ngotot kata sunnah itu artinya mirip bid’ah. Kalau anda tidak menerima logika kucing dan harimau, saya ganti dengan logika penembak dan pemburu. “Semua penembak tersesat, semua yg tersesat masuk di jurang” lalu ahlul bid’ah bilang “tidak semua penembak tersesat, ada penembak baik dan ada penembak buruk. Ini dalilnya “barangsiapa memburu di dalam hutan memburu dengan baik maka akan dapat hadiah, barangsiapa memburu di dalam hutan memburu dengan buruk maka akan dapat sanksi””. Tidak perlu otak jenius untuk bisa menilai logika konyol tersebut!

    BalasHapus
  19. Tambahan untuk Mas Ahmad Full:

    Soal adzan, bagi saya adzan adalah perkara muamalah karena adzan adalah hasil dari usulan sahabat untuk memanggil orang shalat (Lihat sejarah adzan). Selain itu, sahabat tdk merubah bacaan-bacaan adzan, andai merubahpun itu bukan termasuk bid’ah, apalagi tidak merubahnya. Jika kurang hanya dengan adzan, silahkan tambahin kentongan atau bedug seperti masjid-masjid di jawa.

    Saya berbeda dlm metode pendekatan dengan pendapat ulama-ulama yg anda sebutkan. Jadi interpretasi saya akan bid’ah berbeda dengan mereka, tetapi yg perlu ditekankan bahwa dalam merepresentasikan “semua bid’ah sesat” kita sama. Ini dengan bukti bahwa sahabat dan ulama salaf (imam madzhab empat) tidak ada satupun yg melakukan bid’ah sesuai interpretasi bid’ah di atikel saya.

    Kenapa saya tidak sependapat dengan ulama yg membagi bid’ah menjadi bermacam-macam jenisnya? Karena ada hadis “semua bid’ah sesat, dan semua kesesatan di neraka”. Selain itu pendapat para ulama tersebut akhir-akhir ini disalahgunakan oleh ahlul bid’ah utk pembenaran ritual-ritual bid’ah mereka. Sedangkan para ulama itu sendiri tidak pernah mencontohkan bid’ah.

    Seorang Rasul yg shiddiq tidak mungkin ucapannya kontradiksi, teori lex generalis dan lex spesialis dlm pembentukan aturan hukum tidak boleh kontradiksi, apalagi seorang Rasul. Kontradiksi dengan pembatasan beda. Kalau bilang semua bid'ah sesat, lalu bilang tidak semua bid'ah sesat, ada bid'ah hasanah dan bid'ah sayyiah itu namanya kontradiksi bukan pembatasan. Contoh pembatasan: misal Rasul membuat dalil "semua bid'ah sesat" lalu misal Rasul membuat dalil "tahlilan adalah bid'ah yg dibolehkan" ini yg namanya lex spesialis, pengecualiannya jelas dan mengarah ke hal-hal yg tidak bersifat umum hingga tidak kontradiksi dgn dalil yg lain, hal demikian yg dibolehkan dlm terori pembentukan undang-undang yg dinamakan teori lex generalis & lex spesialis, Makanya Rasul baik secara langsung maupun tidak langsung tidak pernah bilang ada bid'ah hasanah dan sayyiah. Kalau pembuat undang-undang membuat pasal yg kontradiksi itu namanya orang tolol, dan Rasul bukan seperti itu. Bedakan kata-kata bahasa dengan istilah, secara bahasa bisa diartikan luas dan umum, arti istilah bisa ikut masuk dan juga bisa tidak masuk dlm arti bahasa. Sedangkan secara istilah dibatasi keumumannya, yaitu hanya diartikan secara istilah hukum. Misal kata "tersangka" secara bahasa semua orang yg dicurigai dan yg diduga bisa disebut tersangka, tetapi kata "tersangka" secara istilah hukum hanya orang yg disangkakan dan telah ada dua alat bukti yg mengarah padanya. Sedangkan bid'ah dlm "kullubid'atin dholalah, wakullu dholalatin finnar" adalah bentuk istilah, karena Allah sendiri adalah pelaku bid'ah (lihat ayat-ayat quran) jadi mana mungkin Allah sesat dan masuk neraka. Untuk memahami "istilah" dlm suatu pasal/dalil, maka perlu membaca pasal/dalil lain (begitulah teori dlm hukum islam maupun hukum positif). Di artikel "Definisi Bid'ah" sudah saya jelaskan.

    Soal bid’ahnya tahlilan dan semacamnya, sudah saya jelaskan di artikel “Definisi Bid’ah”


    Mas ploetoet: iya nih saya keteteran, bantuin dong! :)


    Wallahua'lam

    Barakallahufikum

    BalasHapus
  20. Terima kasih atas tanggapannya saudara admin.

    Pertama: Diskusi ini buat saya biasa-biasa aja, bukan menang-menangan, hanya menguji kebenaran. Jadi bagi saya juga tidak ada istilah mengalah atau tidak mengalah.

    Kedua: Kita ini sama-sama orang Indonesia mas admin. Jadi, masalah bahasa, kita ini sima'i (mendengar bagaimana orang arab menggunakan dan mengartikan bahasa tersebut). Karena itu, coba saudara cari kamus yang otoritatif soal arti tersebut. Saya perhatikan saudara menggunakan kamus al-munawwir, coba dilihat aja ya سن سنة.

    Kalau menciptakan yang diambil dari kata "خلق" memang artinya khusus untuk Allah sebab artinya adalah "menjadikan ada dari ketiadaan secara hakiki". Tapi kalau kata yang masih sinonim yaitu "جعل" artinya tidak khusus untuk Allah. Apalagi, kata "سن سنة" sebagai sebuah kata yang sudah jadi "idiom khusus yang tersusun dari dua buah kata" jelas berlaku untuk manusia. Sama halnya dengan saudara mengunakan kata "membuat kursi, menciptakan rumus baru". Kedalaman makna bahasa kita berbeda dengan kedalaman bahasa arab (coba cek aja kamus besar bahasa indonesia).

    Karena itu, tidak ada masalah dalam arti kata "membuat/menciptakan". Maslah spirit mencontohkan yang saudara maksud, justru memperjelas pengertian. Artinya: "membuat perilaku baru" (yang belum dibiasakan/dicontohkan sebelumnya). Jika perilaku sesuai dengan sunnah (tidak bertentangan), maka disebut bid'ah hasanah. Dan apabila bertentangan disebut bid'ah sayyiah (imam syafi'i).

    Itu yang menyebabkan kata "سن سنة", "بدع", "اخترع" adalah bersinonim. Jadi, sebelum kebanyakan kasih contoh, selesaikan dulu persoalan bahasa ini dengan merujuk sumber yang otoritatif (kamus) atau ulama yang kaliber supaya kuat rujukannya.



    BalasHapus
  21. Saudara ini lucu,

    Pertama: saudara mengatakan "...Saya berbeda dlm metode pendekatan dengan pendapat ulama-ulama yg anda sebutkan. Jadi interpretasi saya akan bid’ah berbeda dengan mereka". Berarti saudara ini memang tidak memiliki rujukan ulama besar donk... Tapi masih ngerujuk kamus bahasa Arab atau tidak? Hanya saja kamus bahasa Arab yang otoritatif karangan para ulama lho. Dan mereka akan menjelaskan arti tersebut berdasarkan pemahaman mereka lho ya... Trus saudara mau merujuk siapa?

    BalasHapus
  22. Kelucuan berikutnya,

    Kedua: dalam masalah takhsis, rujukan anda dari mana pola takhsis harus demikian. Gak harus langsung begitu.

    satatement1: Semua hal baru (bid'ah) adalah sesat
    Satetement2: Barangsiapa membuat perilaku baru (yang belum dicontohkan) yang baik, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengikutinya. Artinya: Ada hal baru (bid'ah) yang baik.

    Kesimpulan: Semua hal baru "yang jelek" adalah sesat.

    Ketiga: Saudara mengatakan "...Contoh pembatasan: misal Rasul membuat dalil "semua bid'ah sesat" lalu misal Rasul membuat dalil "tahlilan adalah bid'ah yg dibolehkan".... Gimana sich. Contohnya menggelikan, kalau sudah diucapkan Rasulullah berarti bukan bid'ah lagi donk..

    BalasHapus
  23. Masalah krusial saudara berikutnya,

    Kempat: Saudra mengatakan "...Beda masalah dengan orang yang menggunakan Al-Quran untuk menciptakan ritual ibadah tertentu. Misalnya orang berkumpul melakukan ritual sujud syukur berjamaah 10 kali sambil membaca Al-Quran 10 kali untuk syukuran panen. Sujud sukur maupun membaca Al-Quran hukumnya boleh bahkan disunnahkan, "tetapi melakukan inovasi menjadi kesatuan ritual tertentu", yaitu dilakukan berjamaah dan dengan hitungan-hitungan tertentu dan tata cara serta niat tertentu yang seolah menjadi ritual sendiri yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah, itu yang membuat jadi bid’ah. Jadi di sini yang bid'ah bukan sujud syukur dan Al-Qurannya, tapi ritualnya..."


    Skrang kita uji konsistensi saudara:

    Satetmen 1: Adzan disunnahkan oleh Rasulullah SAW sebagaimana membaca Alquran adalah sunnah.
    Statement 2: melakukan inovasi menjadi kesatuan ritual tertentu adalah bid'ah.
    Statement 3: Khalifah Usman melakukan inovasi menjadikan adzan pertama dalam sholat jumat sebagai bagian dari sholat jum'at.

    Kesimpulan yang seharusnya (sesui logika saudara): khalifah usman melakukan bid'ah.

    Saudara ngeles dengan menyatakan adzan adalah "muamalah". Saya ingin kejelasan aja, saudara menganggap adzan itu disunnahkan oleh Rasulullah atau tidak. Kalau adzan disunahkan (ingat: dengan urut-urutan yang kita kenal itu), bisa disebut ibadah atau tidak?

    BalasHapus
  24. Mas Ahmad: Soal bahasa, di atas sudah saya akhiri dengan menggunakan pengartian yg anda tulis saja. Jadi tidak akan saya bahas lagi.

    Ya. dalam diskusi memang bukan persoalan menang dan kalah. Tapi dlm hal ini bisa dikatakan saya nurutin kemauan anda. Karena kalau saya ngotot dlm mengartikan dalil yg sdg kita diskusikan harus melihat asbabul wurud, diskusi gak akan sampai pada titik perdebatan saat ini. Sedangkan kalau terjadi perselisihan dlm pemahaman sebuah hadis, teori yg paling relevan adalah dgn melihat asbabul wurud. Sedangkan dari awal kita berselisih akan pemahaman hadis tersbt.

    Selain itu, tidak ada satu katapun dlm hadis itu ada kata "bid'ah", jadi patutnya yg mengajukan utk melihat asbabul wurud adalah pihak yg mengatakan bahwa hadis itu maknanya ada bid'ah hasanah dan bid'ah sayyiah, untuk menguatkan argumennya. Karena, secara teks telah menyimpang dlm mengartikan kalimat hadis tersebut.

    Soal interpretasi saya soal bid'ah, memang berbeda dgn semua ulama salaf meski dlm merepresentasikannya kami justru sama. Sedang representasinya justru malah orang-orang NU yg beda, ironisnya lg NU paling getol menjual nama-nama ulama salaf baik dlm organisasi maupun utk membenarkan perilaku bid'ahnya.

    Soal misal dalil tahlilan, misal tahlilan itu diciptakan sahabat, dan Rasul melihatnya. Hal demikian pada saat itu disebut bid'ah, karena yg berhak menciptakan ritual peribadatan hanya Allah yg diajarkan melalui RasulNya. Lalu, Rasul berucap: tahlilan adalah bid'ah yg dibolehkan. Begitu maksudnya kalau saya kasih asbabul wurudnya. Kalau misal dalil itu nyata, lalu skrg mengartikan tahlilan bukan bid'ah lagi atau bid'ah yg dibolehkan, itu soal lain.

    Yg perlu diketahui, bahwa perkembangan ilmu hukum berkembang terus. baik ilmu-ilmu untuk menafsirkan maupun untuk membuat sebuah aturan perundang-undangan. Makanya interpretasi2 saya berbeda dgn ulama2 salaf.

    Soal adzan, yg disunnahkan Rasul banyak jg ranah muamalah. Ngesex dengan istri aja disunnahkan dan bernilai ibadah, apalagi adzan. Di artikel Definisi Bid'ah sudah saya jelaskan dgn cukup jelas.

    Tidak semua yg mengikuti ritual peribadatan disebut inovasi dlm ritual peribadatan. Yg bilang inovasi anda bukan saya. Apalagi, hal-hal yg dilakukan sebelum ritual peribadatan, misalnya adzan. Bahkan, hal-hal yg dimasukkan dlm (di tengah) ritual peribadatan tidak semuanya disebut bid'ah, misal imam dikasih microphone. Logika semacam ini sebenarnya sudah saya jelaskan di artikel Definisi Bid'ah.

    Wallahua'lam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Terima kasih tanggapananya saudara admin,

      Pertama: soal bahasa, kenapa saya tulis lagi? sebab, saudara bermasalah sejak pada penggunaan bahasa (perangkat dasar/awal). Saudara memang mengambil pengertian kata "سنة" dari saya, tapi saudara membantah arti kata "سن". Makanya, saya minta saudara untuk memberikan saksi ilmiyah. Dan dari situ sebenarnya saudara juga tidak "mengalah" (dalam istilah saudara). Tapi, saudara lebih cenderung "ngeles", hanya dengan mengambil pengertian kata "سنة" lalu mengatakan "mengalah". Padahal, di situ saudara sedang berusaha mengabaikan pengertian kata "سن" yang sejak awal juga sudah saya tulis. Saudara mengabaikan pengertian kata "سن" yang memiliki konsekuensi hukum yang jelas. Kalau saudara mengabaikan persolan dasar ini, menurut tata cara ilmiyah, saudara tidak memiliki dasar ilmiyah untuk bicara lebih jauh dalam persoalan ini.

      Kedua:Sekali lagi, dalam dunia ilmiyah tidak ada kata "mengalah". Saya membantah saudara dengan argumentasi sehingga sampai pada pengamalan prinsip "العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب". Silakan saudara "berjihad" mencari argumentasi yang kuat untuk mematahkan argumentasi saya. Ibarat kita berdua ini sedang menggosok "berlian" (kebenaran), maka kata "mengalah" bisa menjadi ""exit strategy" (pintu keluar) untuk menolak kebenaran yang sudah tampak di depan mata.

      Seolah-olah menjadi "bijaksana" dengan mengalah, padahal dia sedang membangun "fanatisme" pada pendapat pribadinya yang keliru.

      Tentunya, sikap ilmiyah tidak boleh demikan kan??

      Hapus
    3. Ketiga:

      Saudara mengatakan "...Selain itu, tidak ada satu katapun dlm hadis itu ada kata "bid'ah", jadi patutnya yg mengajukan utk melihat asbabul wurud adalah pihak yg mengatakan bahwa hadis itu maknanya ada bid'ah hasanah dan bid'ah sayyiah, untuk menguatkan argumennya. Karena, secara teks telah menyimpang dlm mengartikan kalimat hadis tersebut".

      Begini ini klau saudara tidak mencermati tulisan saya. Bahkan, secara bahasa sudah saya jelaskan bahwa kata " سن سنة" adalah sinomin (persamaan kata) dari "بدع بدعة" dan "اخترع اختراعا". Kalau saudara punya saksi ilmiyah, silakan dibantah. Jangan sampai mengira-ngira dalam persoalan bahasa. Saudara admin, dalam persoalan bahasa saja, adalah bermasalah, kok sudah mau lari aja ke asbabul wurud. Begitu itu malah bukan sikap ilmiyah, tapi justru mencerminkan "fanatisme", dengan mencari2 pembenar dengan cara yang keliru.

      Melihat asbabul wurud itu oke-oke saja untuk memperjelas pengertian, setelah kita tidak bermasalah dalam persoalan bahasa. Kalau kita bermasalah dalam persoalan bahasa, persoalan bahasa itu kita benerin dulu..

      Bukankan sikap ilmiyah seharusnya demikian??

      Hapus
    4. Keempat:

      Saudara mengatakan "...Soal interpretasi saya soal bid'ah, memang berbeda dgn semua ulama salaf meski dlm merepresentasikannya kami justru sama. Sedang representasinya justru malah orang-orang NU yg beda, ironisnya lg NU paling getol menjual nama-nama ulama salaf baik dlm organisasi maupun utk membenarkan perilaku bid'ahnya."

      Itu kan baru "klaim" (halusnya: kesimpulan) saudara yang harus kita buktikan dan kita uji dulu kebenarannya kan? Setidak-2nya, yang sudah terbukti dan saudara akui adalah pemahaman saudara tidak memiliki sandaran ilmiyah kepada ulama-ulama salaf dan kholaf(berbeda). Melainkan, murni pemahaman saudara dan kelompok saudara (jika saudara memiliki sekelompok orang yang berfikiran sama).

      Trus, "berbeda" itu kan konsekuensinya ada dua: benar atau salah? Dan itu yang sejak awal sedang kita sedang uji. Kalau secara bahasa saja tidak memiliki dasar, bagaimana hendak menggapai kebenaran?? Makanya, jika saudara hendak berusaha "mensejajarkan diri" dengan para ulama, minimal secara bahasa harus sudah selesai (meskipun, sejujurnya masih tidak sebanding sebab masih banyak perangkat-perangkat lainnya).

      Jangan sampai, misalnya (contoh aja), Al-quran atau hadis menyebutkan kata "tahu" lalu saudara bersikukuh mengatakan bahwa artinya adalah "tempe" dan ini adalah interpretasi saya.. Kalau sampai begini ini, namanya bukan interpretasi mas, tapi ngawur...

      Hapus
    5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    6. Kelima:

      Saya rasa saudara sudah rancu sejak pemahaman dasar mengenai kaidah "al-ashlu fil 'ibaadah al-tahriim" dan "al-ashlu fil a'dat/al-muamalah al-ibahah". Kedua kaedah ini adalah hal yang kita maklumi bersama.

      1. Dalam ibadah-ibadah yang sudah ditetapkan tata caranya (ingat! kata "al-ibadah" berbetuk ma'rifat, jadi merujuk pada ibadah yang definitif/ibadah mahdhah yang muqayyadah), maka prinsip dasarnya adalah haram (tidak boleh) merubah. Misalnya, aturan-aturan sholat, puasa, zakat, dan haji, tidak boleh dirubah. Seperti menjadikan sholat subuh 4 rakaat. Sebab, dalam ibadah-ibadah tersebut Syara' sudah memberikan panduan secara terperinci.

      Dari sini, bisa dipahami bahwa:
      Pengecualian dari kategori ibadah tersebut adalah ibadah mahdhah ghairu muqayyadah (tata caranya tidak mengikat). Misalnya, membaca Alquran, lalu membaca tasbih, lalu membaca sholawat, lalu membaca istighfar. Coba saudara carikan dalil yang melarang orang melakukan urut-urutan dzikir. Seperti setelah shalawat tidak boleh baca istighfar misalnya. Semua hal tersebut masuk dalam kategori keumuman perintah Alquran dan hadis Nabi, yang tidak ada takhsisnya.

      Juga, termasuk pengecualian dari kata "al-ibadah" tersebut adalah "ibadah ghairu mahdhah", seperti saudara ngesex (contoh saudara) dengan istri saudara (jika sudah punya) sebagai wasilah untuk mendapat ridha Allah.

      2. Sedangkan, dalam mu'amalah di masyarakat seperti tata cara berbisnis (sebab syara' tidak merinci semua), maka prinsip dasarnya adalah boleh (selama tidak ada dalil yang mengharamkan). Artinya: Alquran dan hadis hanya memberikan panduan-panduan pokok saja.

      Dan perlu diingat bahwa arti muamalah itu adalah interaksi (saling terkoneksi dengan dua belah pihak atau lebih) dengan makhluk, seperti jual beli, bekerjasama, melakukan perjanjian, dan lain sebagainya. Muamalah yang diniatkan sebagai wasilah mendapatkan ridha Allah, semua masuk dalam kategori ibadah ghairu mahdhah.

      Jadi, memberi mengumpulkan Alquran dan memberikan titik pada huruf Alquran bukan termasuk kategori muamalah. Melainkan masuk dalam kategori kebaikan dalam ibadah ghoiru mahdhoh yang bukan kategori muamalah.

      Coba dipahami supaya saudara tidak terjebak dalam kerancuan berfikir, mengklasifikasi tahlilan adalah ritual sedangkan adzan adalah muamalah. Padahal, tata caranya adalah sama dengan tahlilan, adzan juga menyusun ucapan-ucapan dzikir dan seruan. Diusulkan oleh Ibn Abbas (berdasarkan ilham) dan Rasulullah menyetujui. Dengan demikian, maka adzan adalah ibadah mahdhah yang ghairu muqayyadah.

      Klau saudara konsisten dengan tahlil sebagai bid'ah, maka saudara pun seharusnya mengatakan adzan adalah bid'ah. Dan itu akan semakin menggelikan sebab tidak semua sunnah Nabi harus sesuatu yang dilakukan Nabi. Di antara sunnah adalah persetujuan Nabi, dan itu bukanlah bid'ah.

      Hapus
  25. Mas Ahmad Full:

    Jawaban no. 1, 2, 3, dan 4: Sepertinya yg punya masalah bahasa bukan saya, tapi justru anda. Saya berbeda dengan orang-orang tertentu dlm istilah/interpretasi/penafsiran saja, bukan arti bahasa. Anda akan bertentangan dengan khalayak umum kalau mensinonimkan bid'ah dengan sunnah.

    Jawaban no. 5: Ubudiah di artikel itu dlm arti sempit yaitu hanya ritual peribadatan bukan ibadah. Sedangkan muamalah dlm artikel itu dlm arti luas yaitu semua masalah dunia/non ritual peribadatan. Istilah itu saya ciptakan utk menyederhanakan dlm pembagian perkara khusus utk masalah bid'ah.

    Perintah dari Allah di quran saja tidak semuanya otomatis disebut ritual peribadatan, apalagi sunnah. Tapi, byk hal bisa jd ibadah kalau niatnya karena Allah.
    Orang yg membungkuk-bungkuk dengan niat & tujuan mengagungkan Allah bisa disebut ritual peribadatan. Orang yg membungkuk-bungkuk dengan niat dan tujuan untuk olahraga disebut senam. ( #Niat & #Tujuan ). Dasar tujuan adzan utk memanggil orang melakukan ritual peribadatan, seperti halnya kentongan dan bedug. Bahkan Hilal pernah adzan utk membangunkan orang tidur, dan utk mengingatkan orang yg shalat malam di masjid spy pulang (untuk sahur), dan hal itu diketahui Rasul.

    Wallahua'lam

    BalasHapus
  26. nyimak wae ntar kalau ikut coment t2kutna salah jadi ya kadang geleng2 kadang mantuk2

    BalasHapus
  27. Maaf baru bisa aktif lagi saudara admin, lagi banyak kerjaan.

    Pertama:

    Kalau saudara hanya "merasa" berbeda hanya dalam "interpretasi", bukan "bahasa", Maka coba saudara buka kamus al-munawwir arti kata "سن سنة" (satu paket), artinya: menciptakan/membuat suatu kesunahan/perilaku/tradisi. Saudara kan menolak arti kata "سن" dengan membuat/menciptakan (saudara mengatakan dengan argumentasi bahwa menciptakan adalah arti dari kata "خلق" dan sudah saya jawab), padahal itu kan pengertian secara bahasa.

    Dengan demikian, saudara bukan hanya berbeda dalam interpretasi, tapi juga berbeda dalam hal bahasa. Coba saudara jujur dulu sebagai sebuah sikap ilmiyah kita dalam forum ilmiyah.

    Kedua:

    Coba perhatikan, saya mensinonimkan arti kata "سنّ سنة" dan " بدع" yang sama-sama memiliki arti "membuat/menciptakan" berdasarkan kamus. Jadi itu tidak bertentangan dengan khalayak yang mengerti bahasa Arab.

    Ini untuk menegaskan "argumentasi" bahwa hadis "من سن في الإسلام سنة حسنة إلخ" tersebut adalah hujjah bagi adanya "bid'ah hasanah dan bid'ah sayyiah" sebab bunyi hadis Nabi menunjukkan pengertian tersebut.

    Adapun arti kata sunnah secara istilah sebagai ucapan, perbuatan, dan persetujuan Nabi dan bid'ah adalah sesuatu yang belum di lakukan Nabi, saya tidak pernah menyamakannya. Coba saudara baca lagi..

    BalasHapus
  28. Ketiga:

    Kerancuan utama saudara adalah membuat istilah "ritual" sebagai sebuah istilah yang ambigu. Mari kita telisik sedikit demi sedikit.

    1. Saya sebenarnya sudah sedikit menyinggung di awal-awal dengan "nada" sedikit bertanya, bagaimana dengan bid'ah yang berkembang dalam keimanan?? misalnya pengingkaran terhadap takdir Allah seperti yang dilakukan oleh kaum mu'tazilah. Keimanan tidak termasuk kategori "ritual" jika merujuk definsi yang saudara buat tersebut. Akan tetapi, mungkin saja kan terjadi bid'ah dalam keimanan?? Trus bagaimana donk??

    Artinya, kesimpulan saudara bahwa bid'ah hanya terjadi dalam urusan ritual peribadatan adalah salah. Sekaligus bisa disimpulkan bahwa klasifikasi saudara tidak pada tempatnya.

    2. Sebagaimana saudara sudah mengakui telah membut "kategorisasi" (pengelompokan/klasifikasi) dengan pengertian baru antara ibadah ritual dan muamalah, maka sebenarnya saudara memang bukan sedang merujuk klasifikasi yang dimaksud oleh para ulama yang anda kutip (hanya meminjam istilah dan dalil saja).

    Dan juga sudah jelas bahwa "kategorisasi" yang saudara maksud adalah "tidak sebanding" sebab tidak dalam 1 genus. Jika saudara menyebut istilah "ibadah ritual" (mungkin maksud saudara adalah "ibadah mahdhah muqayyadah"), maka seharusnya dia sebanding dengan ibadah "mahdhah ghairu muqayyadah", dan "ibadah ghoiru mahdhah". Ketiganya masuk dalam 1 genus ibadah.

    Sedangka istilah "muamalah" dan "ibadah" bisa disandingkan sebab dalam 1 genus bentuk "relasi/al-hablu" manusia, yang dikenal dengan istilah "hablum minallah" yang menghasilkan istilah "ibadah" (menunjukkan pengertian relasi dari Yang Maha Tinggi kepada hamba yang rendah) serta "hablum minannas" yang menghasilkan istilah "muamalah" (menunjukkan pengertian "saling" sebagai relasi yang sederajat, sama-sama makhluk Allah).

    Artinya, kesalahan dalam membuat klasifikasi ini menyebabkan saudara memasukkan ibadah ke dalam mu'amalah.

    Misalnya, saudara memasukkan adzan sebagai muamalah. Sudah jelas, adzan itu adalah ibadah, bukan mu'amalah. Sebab, (1) yang namanya muamalah itu adalah interaksi aktif kedua belah pihak (saling). (2) lafdz-lafadz adzan yang diucapkan tersebut masyruu' (disunahkan oleh Rasulullah SAW), jadi tidak sembarang ngucap bisa disebut adzan meskipun tujuannya memanggil orang untuk sholat. (3) Rasulullah memerintahkan mengumandangkan adzan (definitif/bukan sembarang ngucap) yang berkonsekuensi ”ibadah” fardlu kifayah jika sudah masuk waktu sholat. (4) Coba anda lihat lagi lafadz-lafadz adzan itu apa saja? bukankah isinya adalah kalimah-kalimah thayyibah mengagungkan Allah ta'ala, ada susunannya, diucapkan dengan bilangan tertentu, dan diulang-ulang terus menerus? Jadi, dari sisi mana sifat muamalahnya? Jika kategori tersebut didasarkan pada tujuan ”memanggil orang”, bagaimana dengan tahlilan yang ditujukan untuk silaturahim, sedekah, mengingatkan manusia pada kalimah-kalimah thayyibah (dzikr) yang mendekatkan diri kepada Allah? Namun saudara memasukkan tahlilan dalam ritual ibadah.

    Jadi, ini adalah inkonsistensi saudara.

    3. Di dalam ”ibadah mahdhah muqayyadah” (mungkin dalam istilah saudara ”ritual peribadatan”) juga tidak harus yang wajib, misalnya sholat sunnah, puasa, sunah, umroh. Meskipun sholat sunnah, tapi dia adalah ”ibadah mahdhah muqayyadah”. Jadi, tidak boleh sholat sunnah dengan semaunya. Tapi di sini saudara mengatakan "....apalagi sunnah" untuk merujuk bahwa ibadah sunah tidak termasuk dalam kategori ritual.
    Jadi, ini adalah kerancauan saudara berikutnya, sebab terlalu gegabah membuat istilah dengan definisi yang tidak definitif (jami’ dan mani’).

    Monggo ditanggapai.



    BalasHapus
  29. Mas Ahmad Full:

    Jawaban yg pertama dan kedua: masdar/kata sifat/benda: "sunnatan/perilaku" ke fi'il/kata kerja seharusnya "melakukan/sanna" kalau kata sifat "perilaku" berubahnya ke kata kerja seharusnya jadi "melakukan" bukan "menciptakan". Dlm hal ini saya tidak sepakat dengan kamus al munawir yg ditulis oleh orang NU.

    Padahal, andaikan hadis itu diartikan ada bid'ah hasanah sekalipun, tetap tidak bisa menggugurkan hadis "semua bid'ah sesat" karena bid;ah dlm hadis semua bid'ah sesat adalah bid'ah secara istilah, karena Allah sendiri pelaku bid'ah. Sedang hadis ada sunnah hasanah/sayyiah adalah hadis arti secara bahasa karena semua sunnah nabi tidak ada yg sayyiah.

    Jawaban ketiga: Secara bahasa bid'ah bisa apa saja, tp scr istilah hanya ritual peribadatan. penyimpangan keimanan tertentu bisa dihukumi syirik/kafir. Tapi, setahu saya, mu'tazilah percaya takdir, cuma beda penafsiran akan takdir.

    Dlm matematika/fisika ada istilah bilangan " i " , yaitu istilah bilangan yg diciptakan utk memecahkan perhitungan2 yg rumit. Dlm bid'ah juga saya ciptakan istilah muamalah dan ubudiah utk memecahkan kerumitan masalah bid'ah yg sudah ribuan tahun jd pertentangan. Jika arti bahasa dlm istilah di dlm rumus diperdebatkan, itu konyol.

    Pahami perbedaan "dasar tujuan perilaku/ritual" dengan "niat melakukan perilaku/ritual". Dasar perilaku/ritual shalat adalah ubudiah walaupun niatnya muamalah (riya'), misalnya. Dasar tujuan perilaku/ritual tahlilan adalah ubudiah walaupun niatnya mungkin muamalah (sedekah atau riya'). Dasar perilaku shalat adlh ubudiah walau di dlm rukunnya ada muamalah (berdiri). Dasar tujuan perilaku adzan adalah muamalah walau di dalamnya ada sisi ubudiah.

    saya bilang "..apalagi sunnah" utk meneruskan kata saya bahwa perintah di alquran saja tidak semua otomatis disebut ritual peribadatan, untuk menjawab argumen anda bahwa adzan adalah ritual peribadatan karena disunnahkan Nabi. Artinya, tidak semua sunnah otomatis disebut ritual peribadatan, bukan soal ibadah sunnah atau wajib. Jangan putar balikkan kata dan kalimat! Debat kusir jadinya.

    Wallahua'lam

    BalasHapus
  30. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  31. Begini mas admin:

    Pertama:
    1. Bahasa itu kan sifatnya "arbitrer" atau sima'i (suka-suka orang arab) lalu kita memaknai sebagaimana orang Arab memberikan pengertian. Karena itu, sebagaiknya ada saksi kamus yang otoritatif biar ilmiyah dan tidak terkesan spekulasi. Saya bisa aja menjawab, keberatan anda dengan logika yang sama anda pakai, tapi nanti akan melebar.

    Karena itu, langsung saya tunjukkan kamus bahasa Arab yang terkenal, "lisanul 'arab". Saudara punya kamus itu atau tidak? Klau punya langsung saja dibuka. (Silakan nanti dicek), kurang lebih, kamus tersebut menyebutkan arti "سن سنة" dengan "semua orang yang memulai suatu tradisi". Tidak beda jauh kan dengan kamus al-munawwir dengan "membuat sebuah tradisi"? Sama-sama mengandung pengertian orang tersebut yang "merintis pertama kali" sehingga tradisi tersebut adalah "baru".

    Orang arab berbicara dengan lisannya, dan kita orang ajam mengambil dari mereka. Coba cari kamus lain, seperti al-muhiith misalnya biar semakin kaya khazanah diskusi kita dengan sumber rujukan yang otoritatif. Saya tidak keberatan anda menolak karangan orang NU, tapi tentunya dengan menghadirkan sumber yang otoritatif.

    2. Saudara mengatakan, "...Sedang hadis ada sunnah hasanah/sayyiah adalah hadis arti secara bahasa karena semua sunnah nabi tidak ada yg sayyiah..".

    Memang, itu secara bahasa (sudah saya jelaskan jauh2 di atas), tapi pengertiannya spesifik. Sehingga, dia membatasi keumuman semua bid'ah adalah sesat (tidak menggugurkan).

    Coba saudara cermati biar memahami alur saya. "من سن" Barangsiapa (bukan Nabi)membuat/memulai suatu tradisi/kebiasaan/perilaku (artinya, "sesuatu yang baru, bukan mengikuti orang lain"). "في الإسلام" artinya, dalam agama Islam, bukan di luar ajaran agama Islam. Bukankah ini adalah pengertian dari bid'ah?? Lalu "سنة حسنة" dan "سنة سيئة", maka pengertiannya menjadi "hal baru dalam agama itu ada yang baik (hasanah) dan ada yang buruk (sayyiah).

    Lalu dijelaskan, bahwa yang baik (hasanah) adalah yang tidak bertentangan dengan sunah Nabi (selaras), meskipun Nabi tidak melakukannya.

    Apakah mungkin? jelas mungkin. Sebab, perintah agama yang sifatnya umum memungkinkan keluasan dalam melaksanakannya. Dengan demikian, maka meskipun Nabi tidak melakukannya, tetaplah selaras (tidak bertentangan) dengan sunah Nabi dan tetap bersandar padanya.

    Misalnya, perintah membaca Alquran dan dzikir-dzikir, tidak ada larangan yang menyebutkan tidak boleh membaca sholawat setelah lafadz tahlil atau tidak boleh mengulang-ulangnya secara istiqamah, dan sejenisnya. Ini yang saya minta dari saudara menunjukkan dalil larangannya dan anda belum mampu menunjukkannya.

    Dengan demikian, saat ada hadis "كل بدعة ضلالة", maka keumumannya dibatasi oleh hadis lainnya. Sebab, ada hal baru dalam agama yang dibuat oleh "bukan" Rasulullah SAW yang baik. Dengan catatan, masih memiliki sandaran pada syara' (Alquran dan hadis). Contohnya, mengulang-ulang bacaan Alquran, dzikir, dan sholawat. Semuanya diperintahkan oleh Alquran dan Nabi dengan "tidak dibatasi" jumlah dan urut-urutannya. Artinya, suka-suka bagi siapa pun yang mau membacanya dengan jumlah tertentu dan urutan tertentu.

    Coba anda buat runutan "perbandingan" pemahaman saudara terhadap pemahaman saya agar anda bisa menunjukkan celah kesalahan saya, dan saya akan menununjukkan celah kesalahan saudara. Lalu silakan masing-masing memberikan jawaban dan bantahan.

    Silakan dijawab.

    BalasHapus
  32. Kedua: Soal sikap ilmiah.

    Dalam dunia ilmiah, apalagi dalam memahami makna dari ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi, setiap pengertian (secara bahasa dan istilah) mengandung konsekuensi. Sebab, setiap kata mengandung makna dan setiap makna adalah sebuah ketetapan syara'. Karena itu, sebagai admin dari blog "ketok logic" tidak boleh alergi dengan perdebatan dan adu argumentasi.

    Alergi terhadap hal tersebut akan membuat diri saudara semakin sulit menerima kebenaran argumentasi lawan bicara, sehingga saudara akan berprinsip "pokoknya" meskipun tidak memiliki landasan ilmiyah. Lalu anda akan terus-terusan mencaci maki orang-orang NU sebagai fanatisme dan taklid buta. Padahal, hal itu saudara lakukan semata-mata agar orang-orang NU mengikuti saudara dan mengagumi saudara.

    Jika saudara tidak demikian, maka saudara harus "fair". Tidak usah mencaci diskusi kita dalam bahasa dan istilah sebagai "konyol". Hanya sebab argumentasi saudari pada dua tema tersebut tidaklah kuat. Ibarat kita berkompetisi "balapan" karung, lalu sebab saudara kalah, maka saudara membubarkan kompetisi yang sebelumnya saudara juga ikut serta di situ.

    BalasHapus
  33. Mas Ahmad Full:

    Anda selalu mencitrakan diskusi ilmiah, tetapi ketika saya berargumen membuktikan bahwa anda telah memutar balikkan kata dan kalimat saya dan saya mem-warning utk tidak berbuaat konyol spy tidak terjadi debat kusir, justru anda memutar balikkan fakta lagi dgn membentuk persepsi kalau saya tidak fair, saya alergi, dsb. Hmmm...

    Kalau saya mau cari menang, dari awal tinggal ngotot harus pakai asbabul wurud. Selesai. Diskusi gak akan sampai sepanjang ini. Dan soal bahasa, dari awal meski saya tidak sepakat, toh saya mempersilahkan sanna/sunnah diartikan menciptakan/ciptaan. Karena mau diartikan apapun, gak ada efeknya terhadap hadis "semua bid'ah sesat".

    Kalau dalam islam, orang bisa memulai tradisi baik dan tradisi buruk, tak perlu penjelasan hadis yg anda sebutkan juga sudah tahu. Juru dakwah yg datang pertama ke jawa dan mentradisikan shalat di jawa yg sebelumnya tdk ada shalat di jawa, itu namanya membuat sunnah hasanah dlm islam, dan bid'ah hasanah (secara bahasa) karena shalat di jawa adalah hal yg baru. Dan orang yg menciptakan tradisi shalat rebo wekasan, itu namanya menciptakan sunnah sayyiah dlm islam. Inti dari hadis itu, sejatinya keterangan bahwa brg siapa yg memberi contoh/tradisi baik/buruk akan mendapatkan ganjaran/dosa TANPA MENGURANGI GANJARAN orang yg mencotohnya.

    Adanya bid'ah hasanah/sayiah kalau dari segi bahasa, memang saya akui tidak salah. Tapi kalau secara istilah, semua bid'ah adalah sesat. Tahlilan di mata manusia adalah perbuatan hasanah/baik, tetapi di mata syar'i tetaplah sesat. Di sinilah letak ucapan kenabian Muhammad SAW, sangat tepat memilih kata "sesat", karena kenyataanya pelaku bid'ah tersesat, mengira dan terkesan perilaku bid'ahnya hasanah/baik :)

    Wallahua'lam

    BalasHapus