Inti
dari ajaran agama, yang pertama tentunya adalah ajaran Ketuhanan, karena hal
itu yang menjadi pembeda antara ajaran agama dengan ajaran motivator. Yang
kedua adalah ajaran dalam hukum agama, yang sumber hukumnya dari Tuhan
dan sebagian sanksi dan rewardnya dihubungkan dengan hal-hal yang masih gaib
seperti surga dan neraka, karena hal itu yang menjadi pembeda antara hukum
agama dengan hukum positif. Bagaimana islam memandang tentang Ketuhanan dan
hukum (fiqih) ?
Yang
pertama, ajaran Islam sangat menjaga kemurnian Tauhid, yaitu ke-esa-an Tuhan.
Hingga dalam islam dikenal istilah Sang Khalik (sang pencipta) dan makhluk
(semua yang diciptakan oleh sang Khalik). Sang Khalik pasti maha sempurna, maha
kuasa, yang qadim, dan lain-lain. Sedangkan makhluk (malaikat, manusia, jin,
hewan, dan alam semesta) pasti tidak sempurna. Dalam tanda kutip, makhluk
adalah kebalikan dari Khalik. Hanya Sang khalik yang mempunyai kekuatan, dan
tidak layak bagi makhluk untuk mengsakralkan makhluk. Untuk menjaga kemurnian
Tauhid tersebut, makanya ajaran islam mengenal sifat wajib/mustahil Allah dan
asmaul husna. Selain itu untuk menjaga kemurnian tauhid, dalam ajaran islam
dikenal istilah Syirik. (Lebih jelasnya baca artikel sebelum ini tentang
“Tauhid”)
Syirik
adalah dosa paling besar dalam islam, sehingga jika ada masalah
khilafiah/perbedaan pendapat tentang suatu perbuatan tertentu termasuk syirik
atau tidak, sebaiknya dihindari dan tinggalkan perbuatan tersebut. Bahkan yang paling menghawatirkan, berbuat
riya’ dalam ibadah saja itu sudah termasuk syirik (kecil). Kenapa riya dalam
beribadah termasuk syirik? Karena yang berhak diibadahi hanya Allah saja, tidak
boleh niat ibadah karena Allah dan si B. Selain riya, sombong juga termasuk
syirik (kecil).
“Sesungguhnya
yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian ialah syirik yang paling
kecil. Mereka bertanya: Apakah itu syirik yang paling kecil ya Rasulullah?
Beliau menjawab: Riya! Allah berfirman pada hari kiyamat, ketika memberikan
pahala terhadap manusia sesuai perbuatan-perbuatannya: Pergilah kamu sekalian
kepada orang-orang yang kamu pamerkan perilaku amal kamu di dunia. Maka
nantikanlah apakah kamu menerima balasan dari mereka itu." (HR Ahmad)
“Wahai
sekalian manusia, jauhilah dosa syirik, karena syirik itu lebih samar daripada
rayapan seekor semut.’ Lalu ada orang yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah,
bagaimana kami dapat menjauhi dosa syirik, sementara ia lebih samar daripada
rayapan seekor semut?’ Rasulullah berkata, ‘Ucapkanlah Allahumma inni
a’udzubika an usyrika bika wa ana a’lam wa astaghfiruka lima laa a’lam (‘Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku sadari. Dan aku
memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosa yang tidak aku ketahui).” (HR Ahmad)
“Kemuliaan
adalah pakaian Allah. Kesombongan (kebesaran) adalah selendang Allah. Allah
berfirman: “Barangsiapa yang menyamaiKu, maka Aku akan menyiksanya.” (HR
Bukhari dan Muslim)
“Tidak
akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan, sekalipun
hanya sebesar biji sawi. Seorang lelaki berkata: “Wahai Rasulullah, ada seorang
lelaki yang menyukai pakaian yang bagus dan sandal yang bagus (bagaimana orang
itu?).” Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah itu `maha indah dan Allah
menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan menyepelekan manusia.”
(HR Muslim)
“Andai kalian tidak berdosa sekalipun maka aku takut kalian
ditimpa dengan perkara yang lebih besar darinya yaitu ujub.” (HR Al-Baihaqi)
Yang
kedua adalah tentang hukum islam, yaitu persamaan derajat manusia. Tidak ada
kemuliaan di hadapan Allah yang bersifat warisan, semua orang sama derajatnya,
karena semua makhluk adalah ciptaan Sang Khalik yang maha esa, Allah tidak
beranak, diperanak, berkerabat, dan bersaudara. Entah manusia keturunan Nabi,
Raja, maupun keturunan pelacur yang ayahnya tidak jelas sekalipun. Semua sama
derajatnya. Bahkan Nabi pun cuma makhluk lemah dan tidak luput dari salah
(shidiq dan maksum bagi Nabi bukan berarti Nabi tidak pernah salah, karena
hanya Sang Khalik yang maha benar. Tapi meski demikian Nabi dijaga oleh Allah
dari kesalahan fatal karena untuk panutan ummat). Hanya tingkat ketakwaan
kepada Allah yang membedakan kemulian seseorang.
Dalam derajat kemuliaan, islam tidak membedakan keturunan/nasab, ras, dan suku. Makanya, tokoh agama islam yang sesuai syar’i disebut Ulama (orang yang berilmu). Bukan kyai, gus atau habib, tapi Ulama. Siapapun asal berilmu maka layak disebut Ulama dan menjadi tokoh/imam dalam islam. Dalam hukum shalat juga demikian, yang paling tinggi ilmunya adalah orang yang harus dijadikan imam dalam jamaahnya. Hal Itu menunjukkan bahwa ajaran islam adalah ajaran yang sangat anti feodalisme. (pertimbangan Nasab hanya untuk memilih calon suami/istri, karena hal itu ada kaitannya dengan perkara medis dan keturunan (secara biologis) bagi pasangan yang menikah).
Dalam derajat kemuliaan, islam tidak membedakan keturunan/nasab, ras, dan suku. Makanya, tokoh agama islam yang sesuai syar’i disebut Ulama (orang yang berilmu). Bukan kyai, gus atau habib, tapi Ulama. Siapapun asal berilmu maka layak disebut Ulama dan menjadi tokoh/imam dalam islam. Dalam hukum shalat juga demikian, yang paling tinggi ilmunya adalah orang yang harus dijadikan imam dalam jamaahnya. Hal Itu menunjukkan bahwa ajaran islam adalah ajaran yang sangat anti feodalisme. (pertimbangan Nasab hanya untuk memilih calon suami/istri, karena hal itu ada kaitannya dengan perkara medis dan keturunan (secara biologis) bagi pasangan yang menikah).
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)
“Apabila
sangkala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada
hari itu dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (QS Al-Mukminun 101)
“Tatkala
Allah menurunkan ayat “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang
terdekat!” (QS. Asy Syuara’:214), Rasulullah SAW pun berdiri dan berseru, “Wahai
kaum quraisy –atau perkataan yang mirip ini-, selamatkanlah jiwa kalian! Sesungguhnya
aku tidak bisa menolong kalian dari ancaman Allah. Wahai bani abdul manaf, aku
sama sekali tidak bisa menolong kalian dari ancaman Allah. Wahai Abbas bin
Abdilmuthalib, aku tidak bisa menolongmu dari ancaman Allah. Wahai Sofiah
bibinya Rasulullah, aku sama sekali tidak bisa menolongmu dari ancaman Allah.
Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah kepadaku apa yang engkau kehendaki dari
hartaku, aku sama sekali tidak bisa menolongmu dari ancaman Allah.” (HR
Bukhari)
Seorang
muslim harus menempatkan Sang Khalik sebagai Sang Khalik dan Makhluk sebagai
Makhluk. Jika seseorang masih mengsakralkan makhluk maka masih bermasalah
ketauhidannya. Jika seseorang masih takut kepada makhluk, maka masih bermasalah
ketauhidannya. Jika seseorang masih takut apabila misalnya dikalungin celurit
oleh perampok dilehernya, maka masih bermasalah dengan ketauhidannya walaupun
hal demikian manusiawi. Jika seseorang masih takut dengan mitos dan takhayul
(hantu misalnya) maka masih bermasalah dengan ketauhidannya. Selain para Nabi,
ketauhidan yang paling murni dimiliki para wali. Perilaku wali-wali Allah jauh
dari sifat riya’. Dan juga, para wali Allah tidak pernah merasa takut (selain
kepada Allah).
“Ingatlah;
sesungguhnya para wali Allah, mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa
bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertaqwa.” (QS. Yunus:
62-63)
“Riya
yang sedikit adalah syirik. Barangsiapa yang memusuhi wali-wali Allah, maka ia
telah memerangi Allah secara terang-terangan. Sesungguhnya Allah SWT mencintai
orang-orang yang berbuat baik yang bersih hatinya dan tersembunyi. Jika mereka
tidak ada, maka mereka tidak dicari, jika mereka hadir, maka mereka tidak
dikenal. Hati mereka merupakan pelita-pelita petunjuk , yang mengeluarkan
mereka dari problem dan balak yang membingungkan.” (HR Ibnu Majjah, Baihaqi,
dan Al-Hakim)
Jadi,
jika seorang muslim sudah tidak memurnikan tauhid lagi dan menganggap enteng
perkara-perkara yang bisa menjerumuskan ke dalam kesyirikan, maka sudah
bertolak belakang dari inti ajaran islam. Jadi, jika seorang muslim masih
mengagungkan keturunan/nasab, ras, dan suku, maka sudah bertolak belakang dari
inti ajaran islam.
Wallahua’lam.
wah berarti sebutan habib nggak sesuai dengan ajaran islam ya... sebutan habib telah merusak inti ajaran islam akan persamaan manusia...
BalasHapusbukanna mengagungkan tpi bersikap lebih tawadu, dikit ma anak cucu rosulullah yang orang2 bilang habaib moga2 di yaumul akhr dapet syafaat dam pertlnganna
BalasHapus