Bid’ah adalah
sesuatu yang jelas dilarang dalam agama islam. Banyak hadis yang membahas
tentang bid’ah, antara lain di bawah ini:
Rasulullah
Shalallahu’alaihiwasallam bersabda:
مَنْ
يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ
أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ
اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ (رواه النسائي
“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitab Allah (al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap yang baru diada-adakan adalah bid’ah, setiap bid’ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di dalam neraka.” (HR Nasa’i)
Rasulullah
Shalallahu’alaihiwasallam bersabda:
أَمَّا
بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى
مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’d, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Muslim)
Rasulullah
Shalallahu’alaihiwasallam bersabda:
مَنْ
أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya tertolak.” (HR Bukhari dan Muslim)
Rasulullah
Shalallahu’alaihiwasallam bersabda:
وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ
“Jauhilah oleh kalian semua dari mengada-adakan hal-hal yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Abu Dawud)
Secara bahasa,
bid‘ah berasal dari kata bada’a- yabda‘u-bad‘an wa bid‘at[an] yang artinya adalah
mencipta sesuatu yang belum pernah ada, memulai, dan mendirikan. Bada‘a
asy-syay‘a, artinya, Dia menciptakan sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada
(Kamus al-Munawir, hlm. 65). Bisa disimpulkan bahwa bid’ah secara bahasa
artinya menciptakan hal yang baru atau melakukan inovasi baru.
Sudah jelas bahwa
Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam melarang bid’ah. Semua bid’ah adalah
sesat. Apakah berarti Rasulullah melarang menciptakan sesuatu yang baru?
Perlu dibedakan
antara arti bahasa dan arti istilah. Contohnya, taqwa secara bahasa artinya
memelihara, iman secara bahasa artinya percaya, kafir secara bahasa artinya
menolak/mengingkari. Apakah kalau ada non muslim yang percaya dengan artikel
ini dia bisa disebut mukmin secara syar'i? tentu tidak. Apakah kalau ada orang
islam yang menolak/mengingkari artikel ini bisa disebut kafir? tentu tidak.
Karena ada arti secara bahasa dan secara istilah. Perlu dibedakan antara taqwa,
iman, kafir, tawakal, dan bid’ah secara bahasa dan secara istilah.
Dalam hukum islam
maupun hukum positif terdapat istilah-istilah hukum. Misalnya dalam hukum
positif, kata “tersangka” secara bahasa dan istilah berbeda maknanya. Tersangka
secara bahasa adalah orang yang dicurigai/diduga/disangka melakukan sesuatu
hal, sedang secara istilah hukum adalah orang yang disangka melakukan sesuatu
perbuatan melawan hukum dan telah ada dua alat bukti yang mengarah padanya.
Perlu dipahami
antara perkara-perkara ubudiah dengan perkara-perkara muamalah (istilah Ubudiah di artikel ini diartikan dalam arti sempit, yaitu hanya ritual peribadatan. Sedangkan istilah Muamalah dalam artikel ini diartikan dalam arti luas, yaitu semua urusan dunia dan juga semua hal yang berbau agama yang selain ritual peribadatan). Misalnya, shalat adalah perkara ubudiah, sedangkan
saat shalat memakai pakaian model dan jenis tertentu itu adalah perkara
muamalah. Rasulullah menyuruh sahabatnya untuk mencontoh shalatnya, tetapi
Rasulullah tidak pernah melarang sahabat yang tidak memakai baju persis sama
dengan Rasulullah.
صَلُّوا
كَمَا رَأَيتُمُنِي أُصَلِي
“Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR Bukhari dan Muslim)
Perlu diperhatikan
bahwa setiap ritual ibadah apapun pasti bersinggungan dengan perkara muamalah.
Missal dalam shalat tentu supaya sah shalatnya harus menutupi aurat (memakai
baju, sedangkan memakai baju adalah perkara muamalah).
Di atas sudah
banyak disebutkan hadis-hadis tentang prinsip hukum ubudiah, di bawah ini salah
satu hadis untuk dasar hukum muamalah:
أَنْتُمْ
أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
“Kalian lebih tahu tentang urusan duniawi kalian.” (HR Muslim)
Prinsip hukum untuk perkara ubudiah adalah “semua dilarang kecuali yang diperintahkan" sedang prinsip hukum muamalah adalah "semua boleh kecuali yang dilarang”.
Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa bid’ah secara istilah artinya menciptakan sesuatu yang baru atau menciptakan inovasi baru dalam ritual peribadatan. Yaitu mengubah ritual peribadatan yang telah ditentukan tata cara dan syarat rukunnya, atau meracik ritual peribadatan baru.
Tidak semua yang
berhubungan dengan agama adalah perkara ubudiah (ritual peribadatan). Contohnya, meskipun agama memerintahkan semua muslim untuk menuntut ilmu, dan
menuntut ilmu dijanjikan pahala yang besar melebihi shalat sunnah 1000 rakaat,
tapi menuntut ilmu bukanlah ritual peribadatan. Begitu juga tidak semua yang
melanggar hukum syar’i disebut bid’ah.
Perlu dipahami perbedaan antara ritual peribadatan dengan perbuatan yang bisa bernilai ibadah.
Ritual peribadatan pasti bernilai ibadah, tapi yang bernilai ibadah tidak hanya
ritual peribadatan.
Apakah pembukuan
Al-Quran, pemberian titik, maupun penulisan dalam kertas-kertas dan media
modern adalah bid’ah? Jawabannya tidak. Karena Al-Quran bukan ritual
peribadatan, meskipun dalam ritual peribadatan ada bacaan Al-Quran. Masjid bukanlah
ritual peribadatan meskipun di masjid digunakan sebagai ritual peribadatan.
Para tukang bangunan yang sedang membangun masjid tidak disebut sedang
melakukan ritual peribadatan, tetapi para tukang itu sedang melakukan pekerjaan
yang bisa bernilai ibadah, begitu juga orang yang sedang menulis ayat-ayat
Al-Quran menjadi buku tidak disebut sedang melakukan ritual peribadatan
melainkan sedang melakukan amalan kebaikan yang bisa bernilai ibadah.
Beda masalah dengan orang yang menggunakan Al-Quran
untuk menciptakan ritual ibadah tertentu. Misalnya orang berkumpul melakukan
ritual sujud syukur berjamaah 10 kali sambil membaca Al-Quran 10 kali untuk
syukuran panen. Sujud sukur maupun membaca Al-Quran hukumnya boleh bahkan
disunnahkan, tetapi melakukan inovasi menjadi kesatuan ritual tertentu, yaitu
dilakukan berjamaah dan dengan hitungan-hitungan tertentu dan tata cara serta
niat tertentu yang seolah menjadi ritual peribadatan sendiri yang tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah, itu yang membuat jadi bid’ah. Jadi di sini yang
bid'ah bukan sujud syukur dan Al-Qurannya, tapi meracik amalan-amalan tertentu
jadi ritual peribadatan.
Tidak semua yang
diperintahkan agama dan yang terkesan ibadah lalu otomatis disebut ritual
peribadatan (ubudiah), bahkan sesuatu yang mengikuti atau hal-hal yang
disunnahkan maupun diwajibkan demi sahnya ritual peribadatan tidak otomatis
disebut ritual peribadatan.
Misalnya wudlu,
adzan, dan khutbah. Ketiga hal tersebut bukan ritual peribadatan. Kenapa?
Karena dasar tujuan wudlu untuk membersihkan badan, adzan untuk ajakan shalat,
khutbah untuk peringatan dan ajakan kebaikan. Makanya, Hilal RA pernah adzan
untuk membangunkan orang tidur dan untuk memperingatkan orang-orang yang shalat
malam di masjid untuk pulang sahur, dan hal itu diketahui Rasulullah dan
dibiarkan.
Meskipun ketiganya
bukan ritual peribadatan, bukan berarti bebas untuk diubah-ubah. Ada hal-hal
fundamental yang telah ditentukan Rasulullah. Sedangkan menyelisihi ketentuan
Rasulullah tentunya adalah hal yang tercela kecuali ada alasan yang dibenarkan
syar'i yaitu untuk kemaslahatan dikarenakan faktor-faktor tertentu, misalnya
karena faktor perkembangan zaman. Tetapi, khusus dalam ritual peribadatan yang
sudah ditentukan tata cara dan syarat rukunnya bersifat statis, tidak boleh
mengubah atau menciptakan ritual peribadatan baru dalam keadaan apapun dan
sampai kapanpun.
Ada ritual ibadah
yang tidak ditentukan syarat rukunnya, yaitu doa dan dzikir. Rasul tidak
membuat syarat dan rukun dalam ibadah ini. Rasulpun melakukannya dengan
cara-cara yang berbeda-beda. Sehingga kedua ibadah ini bisa dibilang adalah
ibadah free format.
Bagaimana kalau
meracik ritual peribadatan dari kedua hal tersebut, yaitu doa atau dzikir?
Kalau meraciknya sampai seolah-olah menjadikan racikannya itu sebuah ritual
peribadatan tertentu, maka hal itu menjadi bid’ah. Tentu bisa dibedakan antara
orang dzikir dengan orang Tahlilan, orang tahlilan pasti dzikir sedang orang
dzikir tidak otomatis dibilang tahlilan. Logika yang serupa, orang shalat pasti
baca al-quran, tapi orang yang baca al-quran tidak otomatis lalu disebut sedang
shalat.
Tujuan dasar sangat menentukan suatu perilaku bisa disebut ritual peribadatan atau tidak. Sedangkan niat, yang menjadikan suatu perbuatan bernialai ibadah atau tidak. Perlu dibedakan antara "tujuan dasar" sebuah perilaku/ritual/kegiatan dengan "niat" melakukan perilaku/ritual/kegiatan.
Orang yang membungkuk-bungkung dengan tujuan dasar mengagungkan Tuhan, bisa disebut sedang melakukan ritual peribadatan. Tetapi, orang yang membungkuk-bungkuk dengan tujuan dasar olahraga bisa disebut senam, dan tidak bisa disebut sedang melakukan ritual peribadatan. Tetapi, meskipun senam bukan ritual peribadatan, kalau niatnya karena Allah, misalnya niatnya supaya menjadi hamba Allah yang kuat, maka senam menjadi bernilai ibadah. Sebaliknya, orang yang shalat, dimana shalat yang notabene adalalah ritual peribadatan yang tujuan dasarnya untuk menyembah Allah, kalau niatnya karena riya' maka tidak lagi bernilai ibadah.
Orang yang membungkuk-bungkung dengan tujuan dasar mengagungkan Tuhan, bisa disebut sedang melakukan ritual peribadatan. Tetapi, orang yang membungkuk-bungkuk dengan tujuan dasar olahraga bisa disebut senam, dan tidak bisa disebut sedang melakukan ritual peribadatan. Tetapi, meskipun senam bukan ritual peribadatan, kalau niatnya karena Allah, misalnya niatnya supaya menjadi hamba Allah yang kuat, maka senam menjadi bernilai ibadah. Sebaliknya, orang yang shalat, dimana shalat yang notabene adalalah ritual peribadatan yang tujuan dasarnya untuk menyembah Allah, kalau niatnya karena riya' maka tidak lagi bernilai ibadah.
Bahkan, salah satu
rukun islam yaitu zakat bukan merupakan ritual peribadatan. Dalam islam ada
ibadah yang sifatnya ritual peribadatan, ada ibadah yang sifatnya muamalah.
Makanya, zakat bisa tidak persis sama seperti zaman Rasulullah yang menggunakan
kurma.
Contoh lain,
misalnya kita melakukan shalat pelangi ataupun shalat untuk kejadian alam
lainnya, seperti shalat gerhana yang dicontohkan Rasulullah. Yang bid'ah bukan
gerakan dan bacaan shalatnya, tapi niat untuk ritual tertentu yang tidak
dicontohkan Rasulullah yang membuat bid'ah, karena Rasulullah hanya
mencontohkan shalat gerhana. (semua ulama madzhab 4 tentunya sepakat, hal
semacam itu tidak dibenarkan, artinya hal tersebut adalah bid'ah). Jadi, Niat
dalam ritual peribadatan bisa menjadikan bid"ah, kalau niatnya menyelisihi
yang dicontohkan Rasulullah. ( #niat )
Contoh lain,
Shalat Tahiyatul masjid dilakukan dengan cara berjamaah (semua ulama madzhab 4
tentunya sepakat, hal tersebut adalah bid'ah). Jadi, cara/metode bisa membuat
suatu ritual peribadatan menjadi bid'ah. Padahal kalau kita cari dalil tentang
perintah supaya berjamaah tentunya banyak sekali, tetapi karena Rasulullah
mencontohkan shalat tahiyatul masjid sendiri-sendiri, artinya kalau dilakukan
dengan cara berjamaah adalah bid'ah. ( #cara / #metode )
Kalau hanya karena
faktor niat dan cara/metode saja bisa menyebabkan sebuah ritual peribadatan
menjadi bid'ah, apakah masih akan menganggap ritual peribadatan semacam dzikir
berjamaah (tahlilan, mujahadah, dzikrulqhafilin, ratib, dsb) itu bukan bid'ah?
Rasulullah tidak pernah melakukan dzikir berjamaah, bahkan ulama madzhab 4
(Imam Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali) sekalipun juga tidak pernah
melakukan ritual-ritual tersebut.
Apakah maulid Nabi
itu bid'ah? Peringatan kelahiran seseorang bukanlah ritual peribadatan, jadi
maulid Nabi bukanlah bid'ah. Bagaimana kalau misalnya peringatan maulid
disertai sujud syukur berjamaah 10 kali sambil baca Al-Quran berjamaah 10 kali
dengan diniatkan rasa syukur karena telah diutusnya seorang Rasul. Dalam hal
ini yang bid'ah bukan maulidnya tetapi yang bid'ah adalah ritual dalam maulid
tersebut. Selama di dalam maulid itu cuma diisi perkara muamalah yaitu
pengajian maupun kajian sejarah Nabi maka bukanlah bid'ah.
Dari beberapa
riwayat diketahui, para sahabat dan ulama salaf belum membedakan bid’ah secara bahasa
dan secara istilah dengan rinci dan jelas, sehingga muncul istilah bid’ah
hasanah dan bid’ah sayyiah. Misalnya Umar RA yang shalat tarawih berjamaah lalu
berkata “sebagus bid’ah ialah ini”, hal itu sebenarnya adalah bid’ah secara
bahasa karena Rasulullah pernah mencontohkan shalat tarawih berjamaah, dan
banyak hadis yang meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah memimpin shalat tarawih
berjamaah.
Munculnya istilah
bid’ah hasanah dan sayyiah menjadi pembenaran perilaku bid’ah akhir-akhir ini.
Padahal ritual-ritual yang dilakukan para ahlul bid’ah akhir-akhir ini tidak
pernah dilakukan oleh sahabat dan ulama salaf (imam madzhab empat).
Andai perilaku
bid’ah yang dilakukan para ahlul bid’ah akhir-akhir ini dicontohkan oleh para
sahabat dan ulama salaf sekalipun, hal demikian tetap tidak bisa dibenarkan
karena bertentangan dengan hirarki hukum yang lebih tinggi, yaitu hadis. Selain
itu, kita tahu perilaku sahabat dan ulama salaf juga cuma dari riwayat, sedang
standar periwayatan perilaku sahabat dan ulama salaf tidak seketat standar
periwayatan hadis. Perlu diketahui juga, bahwa perilaku sahabat tidak semua
benar dan harus diikuti, karena para sahabat tidak maksum seperti Nabi. Lihat
sejarah perang jamal dimana para Sahabat Nabi berperang dan saling bunuh sesama
Sahabat Nabi.
Dari dalil-dalil
dan pembahasan di atas bisa disimpulkan bahwa semua bid’ah adalah sesat. Tidak
ada definisi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi'ah, karena kalau ada bid’ah
hasanah dan sayyiah maka akan bertentangan dengan hadis "kullu bid'atin
dholalah, wa kullu dholalatin finnar" “semua bid’ah adalah sesat, dan
semua kesesatan (tempatnya) di neraka”. Definisi yang paling sesuai adalah
definisi bid’ah secara bahasa dengan bid’ah secara istilah. Dengan melihat
sejarah Nabi SAW dan sabda-sabda beliau yang telah ditulis di atas, maka bid’ah
secara istilah adalah menciptakan sesuatu yang baru yang menyangkut ritual
peribadatan, baik mengubah ritual peribadatan yang telah ditentukan tata cara
dan syarat rukunnya maupun meracik ritual peribadatan baru.
Perlu diperhatikan
bahwa yang memberikan vonis sesat terhadap bid’ah bukanlah si A atau si B
melainkan Rasulullah.
Rasulullah
Shalallahu’alaihiwasallam bersabda:
مَا
أَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا رُفِعَ مِثْلُهَا مِنَ السُّنَّةِ
"Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah, kecuali akan terangkat Sunnah yang semisal dengannya." (HR Ahmad)
Wallahua’lam.