Kamis, 13 Desember 2012

Definisi Bid'ah


Bid’ah adalah sesuatu yang jelas dilarang dalam agama islam. Banyak hadis yang membahas tentang bid’ah, antara lain di bawah ini:
                                                               
Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam bersabda:


مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ (رواه النسائي


“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitab Allah (al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap yang baru diada-adakan adalah bid’ah, setiap bid’ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di dalam neraka.” (HR Nasa’i)


Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam bersabda:



أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ


“Amma ba’d, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Muslim)

Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam bersabda:


مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ


“Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya tertolak.” (HR Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam bersabda:


وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ


“Jauhilah oleh kalian semua dari mengada-adakan hal-hal yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Abu Dawud)


Secara bahasa, bid‘ah berasal dari kata bada’a- yabda‘u-bad‘an wa bid‘at[an] yang artinya adalah mencipta sesuatu yang belum pernah ada, memulai, dan mendirikan. Bada‘a asy-syay‘a, artinya, Dia menciptakan sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada (Kamus al-Munawir, hlm. 65). Bisa disimpulkan bahwa bid’ah secara bahasa artinya menciptakan hal yang baru atau melakukan inovasi baru.


Sudah jelas bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam melarang bid’ah. Semua bid’ah adalah sesat. Apakah berarti Rasulullah melarang menciptakan sesuatu yang baru?


Perlu dibedakan antara arti bahasa dan arti istilah. Contohnya, taqwa secara bahasa artinya memelihara, iman secara bahasa artinya percaya, kafir secara bahasa artinya menolak/mengingkari. Apakah kalau ada non muslim yang percaya dengan artikel ini dia bisa disebut mukmin secara syar'i? tentu tidak. Apakah kalau ada orang islam yang menolak/mengingkari artikel ini bisa disebut kafir? tentu tidak. Karena ada arti secara bahasa dan secara istilah. Perlu dibedakan antara taqwa, iman, kafir, tawakal, dan bid’ah secara bahasa dan secara istilah.


Dalam hukum islam maupun hukum positif terdapat istilah-istilah hukum. Misalnya dalam hukum positif, kata “tersangka” secara bahasa dan istilah berbeda maknanya. Tersangka secara bahasa adalah orang yang dicurigai/diduga/disangka melakukan sesuatu hal, sedang secara istilah hukum adalah orang yang disangka melakukan sesuatu perbuatan melawan hukum dan telah ada dua alat bukti yang mengarah padanya.


Perlu dipahami antara perkara-perkara ubudiah dengan perkara-perkara muamalah (istilah Ubudiah di artikel ini diartikan dalam arti sempit, yaitu hanya ritual peribadatan. Sedangkan istilah Muamalah dalam artikel ini diartikan dalam arti luas, yaitu semua urusan dunia dan juga semua hal yang berbau agama yang selain ritual peribadatan). Misalnya, shalat adalah perkara ubudiah, sedangkan saat shalat memakai pakaian model dan jenis tertentu itu adalah perkara muamalah. Rasulullah menyuruh sahabatnya untuk mencontoh shalatnya, tetapi Rasulullah tidak pernah melarang sahabat yang tidak memakai baju persis sama dengan Rasulullah.


صَلُّوا كَمَا رَأَيتُمُنِي أُصَلِي


“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR Bukhari dan Muslim)


Perlu diperhatikan bahwa setiap ritual ibadah apapun pasti bersinggungan dengan perkara muamalah. Missal dalam shalat tentu supaya sah shalatnya harus menutupi aurat (memakai baju, sedangkan memakai baju adalah perkara muamalah).


Di atas sudah banyak disebutkan hadis-hadis tentang prinsip hukum ubudiah, di bawah ini salah satu hadis untuk dasar hukum muamalah:


أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ


“Kalian lebih tahu tentang urusan duniawi kalian.” (HR Muslim)


Prinsip hukum untuk perkara ubudiah adalah “semua dilarang kecuali yang diperintahkan" sedang prinsip hukum muamalah adalah "semua boleh kecuali yang dilarang”.


Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa bid’ah secara istilah artinya menciptakan sesuatu yang baru atau menciptakan inovasi baru dalam ritual peribadatan. Yaitu mengubah ritual peribadatan yang telah ditentukan tata cara dan syarat rukunnya, atau meracik ritual peribadatan baru.


Tidak semua yang berhubungan dengan agama adalah perkara ubudiah (ritual peribadatan). Contohnya, meskipun agama memerintahkan semua muslim untuk menuntut ilmu, dan menuntut ilmu dijanjikan pahala yang besar melebihi shalat sunnah 1000 rakaat, tapi menuntut ilmu bukanlah ritual peribadatan. Begitu juga tidak semua yang melanggar hukum syar’i disebut bid’ah.


Perlu dipahami perbedaan antara ritual peribadatan dengan perbuatan yang bisa bernilai ibadah. Ritual peribadatan pasti bernilai ibadah, tapi yang bernilai ibadah tidak hanya ritual peribadatan.


Apakah pembukuan Al-Quran, pemberian titik, maupun penulisan dalam kertas-kertas dan media modern adalah bid’ah? Jawabannya tidak. Karena Al-Quran bukan ritual peribadatan, meskipun dalam ritual peribadatan ada bacaan Al-Quran. Masjid bukanlah ritual peribadatan meskipun di masjid digunakan sebagai ritual peribadatan. Para tukang bangunan yang sedang membangun masjid tidak disebut sedang melakukan ritual peribadatan, tetapi para tukang itu sedang melakukan pekerjaan yang bisa bernilai ibadah, begitu juga orang yang sedang menulis ayat-ayat Al-Quran menjadi buku tidak disebut sedang melakukan ritual peribadatan melainkan sedang melakukan amalan kebaikan yang bisa bernilai ibadah.


Beda masalah dengan orang yang menggunakan Al-Quran untuk menciptakan ritual ibadah tertentu. Misalnya orang berkumpul melakukan ritual sujud syukur berjamaah 10 kali sambil membaca Al-Quran 10 kali untuk syukuran panen. Sujud sukur maupun membaca Al-Quran hukumnya boleh bahkan disunnahkan, tetapi melakukan inovasi menjadi kesatuan ritual tertentu, yaitu dilakukan berjamaah dan dengan hitungan-hitungan tertentu dan tata cara serta niat tertentu yang seolah menjadi ritual peribadatan sendiri yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah, itu yang membuat jadi bid’ah. Jadi di sini yang bid'ah bukan sujud syukur dan Al-Qurannya, tapi meracik amalan-amalan tertentu jadi ritual peribadatan.


Tidak semua yang diperintahkan agama dan yang terkesan ibadah lalu otomatis disebut ritual peribadatan (ubudiah), bahkan sesuatu yang mengikuti atau hal-hal yang disunnahkan maupun diwajibkan demi sahnya ritual peribadatan tidak otomatis disebut ritual peribadatan. 


Misalnya wudlu, adzan, dan khutbah. Ketiga hal tersebut bukan ritual peribadatan. Kenapa? Karena dasar tujuan wudlu untuk membersihkan badan, adzan untuk ajakan shalat, khutbah untuk peringatan dan ajakan kebaikan. Makanya, Hilal RA pernah adzan untuk membangunkan orang tidur dan untuk memperingatkan orang-orang yang shalat malam di masjid untuk pulang sahur, dan hal itu diketahui Rasulullah dan dibiarkan.


Meskipun ketiganya bukan ritual peribadatan, bukan berarti bebas untuk diubah-ubah. Ada hal-hal fundamental yang telah ditentukan Rasulullah. Sedangkan menyelisihi ketentuan Rasulullah tentunya adalah hal yang tercela kecuali ada alasan yang dibenarkan syar'i yaitu untuk kemaslahatan dikarenakan faktor-faktor tertentu, misalnya karena faktor perkembangan zaman. Tetapi, khusus dalam ritual peribadatan yang sudah ditentukan tata cara dan syarat rukunnya bersifat statis, tidak boleh mengubah atau menciptakan ritual peribadatan baru dalam keadaan apapun dan sampai kapanpun.


Ada ritual ibadah yang tidak ditentukan syarat rukunnya, yaitu doa dan dzikir. Rasul tidak membuat syarat dan rukun dalam ibadah ini. Rasulpun melakukannya dengan cara-cara yang berbeda-beda. Sehingga kedua ibadah ini bisa dibilang adalah ibadah free format. 
Bagaimana kalau meracik ritual peribadatan dari kedua hal tersebut, yaitu doa atau dzikir? Kalau meraciknya sampai seolah-olah menjadikan racikannya itu sebuah ritual peribadatan tertentu, maka hal itu menjadi bid’ah. Tentu bisa dibedakan antara orang dzikir dengan orang Tahlilan, orang tahlilan pasti dzikir sedang orang dzikir tidak otomatis dibilang tahlilan. Logika yang serupa, orang shalat pasti baca al-quran, tapi orang yang baca al-quran tidak otomatis lalu disebut sedang shalat.


Tujuan dasar sangat menentukan suatu perilaku bisa disebut ritual peribadatan atau tidak. Sedangkan niat, yang menjadikan suatu perbuatan bernialai ibadah atau tidak. Perlu dibedakan antara "tujuan dasar" sebuah perilaku/ritual/kegiatan dengan "niat" melakukan perilaku/ritual/kegiatan.


Orang yang membungkuk-bungkung dengan tujuan dasar mengagungkan Tuhan, bisa disebut sedang melakukan ritual peribadatan. Tetapi, orang yang membungkuk-bungkuk dengan tujuan dasar olahraga bisa disebut senam, dan tidak bisa disebut sedang melakukan ritual peribadatan. Tetapi, meskipun senam bukan ritual peribadatan, kalau niatnya karena Allah, misalnya niatnya supaya menjadi hamba Allah yang kuat, maka senam menjadi bernilai ibadah. Sebaliknya, orang yang shalat, dimana shalat yang notabene adalalah ritual peribadatan yang tujuan dasarnya untuk menyembah Allah, kalau niatnya karena riya' maka tidak lagi bernilai ibadah.



Bahkan, salah satu rukun islam yaitu zakat bukan merupakan ritual peribadatan. Dalam islam ada ibadah yang sifatnya ritual peribadatan, ada ibadah yang sifatnya muamalah. Makanya, zakat bisa tidak persis sama seperti zaman Rasulullah yang menggunakan kurma.


Contoh lain, misalnya kita melakukan shalat pelangi ataupun shalat untuk kejadian alam lainnya, seperti shalat gerhana yang dicontohkan Rasulullah. Yang bid'ah bukan gerakan dan bacaan shalatnya, tapi niat untuk ritual tertentu yang tidak dicontohkan Rasulullah yang membuat bid'ah, karena Rasulullah hanya mencontohkan shalat gerhana. (semua ulama madzhab 4 tentunya sepakat, hal semacam itu tidak dibenarkan, artinya hal tersebut adalah bid'ah). Jadi, Niat dalam ritual peribadatan bisa menjadikan bid"ah, kalau niatnya menyelisihi yang dicontohkan Rasulullah. ( #niat )


Contoh lain, Shalat Tahiyatul masjid dilakukan dengan cara berjamaah (semua ulama madzhab 4 tentunya sepakat, hal tersebut adalah bid'ah). Jadi, cara/metode bisa membuat suatu ritual peribadatan menjadi bid'ah. Padahal kalau kita cari dalil tentang perintah supaya berjamaah tentunya banyak sekali, tetapi karena Rasulullah mencontohkan shalat tahiyatul masjid sendiri-sendiri, artinya kalau dilakukan dengan cara berjamaah adalah bid'ah. ( #cara / #metode )


Kalau hanya karena faktor niat dan cara/metode saja bisa menyebabkan sebuah ritual peribadatan menjadi bid'ah, apakah masih akan menganggap ritual peribadatan semacam dzikir berjamaah (tahlilan, mujahadah, dzikrulqhafilin, ratib, dsb) itu bukan bid'ah? Rasulullah tidak pernah melakukan dzikir berjamaah, bahkan ulama madzhab 4 (Imam Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali) sekalipun juga tidak pernah melakukan ritual-ritual tersebut.


Apakah maulid Nabi itu bid'ah? Peringatan kelahiran seseorang bukanlah ritual peribadatan, jadi maulid Nabi bukanlah bid'ah. Bagaimana kalau misalnya peringatan maulid disertai sujud syukur berjamaah 10 kali sambil baca Al-Quran berjamaah 10 kali dengan diniatkan rasa syukur karena telah diutusnya seorang Rasul. Dalam hal ini yang bid'ah bukan maulidnya tetapi yang bid'ah adalah ritual dalam maulid tersebut. Selama di dalam maulid itu cuma diisi perkara muamalah yaitu pengajian maupun kajian sejarah Nabi maka bukanlah bid'ah.


Dari beberapa riwayat diketahui, para sahabat dan ulama salaf belum membedakan bid’ah secara bahasa dan secara istilah dengan rinci dan jelas, sehingga muncul istilah bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Misalnya Umar RA yang shalat tarawih berjamaah lalu berkata “sebagus bid’ah ialah ini”, hal itu sebenarnya adalah bid’ah secara bahasa karena Rasulullah pernah mencontohkan shalat tarawih berjamaah, dan banyak hadis yang meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah memimpin shalat tarawih berjamaah. 


Munculnya istilah bid’ah hasanah dan sayyiah menjadi pembenaran perilaku bid’ah akhir-akhir ini. Padahal ritual-ritual yang dilakukan para ahlul bid’ah akhir-akhir ini tidak pernah dilakukan oleh sahabat dan ulama salaf (imam madzhab empat). 


Andai perilaku bid’ah yang dilakukan para ahlul bid’ah akhir-akhir ini dicontohkan oleh para sahabat dan ulama salaf sekalipun, hal demikian tetap tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan hirarki hukum yang lebih tinggi, yaitu hadis. Selain itu, kita tahu perilaku sahabat dan ulama salaf juga cuma dari riwayat, sedang standar periwayatan perilaku sahabat dan ulama salaf tidak seketat standar periwayatan hadis. Perlu diketahui juga, bahwa perilaku sahabat tidak semua benar dan harus diikuti, karena para sahabat tidak maksum seperti Nabi. Lihat sejarah perang jamal dimana para Sahabat Nabi berperang dan saling bunuh sesama Sahabat Nabi.


Dari dalil-dalil dan pembahasan di atas bisa disimpulkan bahwa semua bid’ah adalah sesat. Tidak ada definisi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi'ah, karena kalau ada bid’ah hasanah dan sayyiah maka akan bertentangan dengan hadis "kullu bid'atin dholalah, wa kullu dholalatin finnar" “semua bid’ah adalah sesat, dan semua kesesatan (tempatnya) di neraka”. Definisi yang paling sesuai adalah definisi bid’ah secara bahasa dengan bid’ah secara istilah. Dengan melihat sejarah Nabi SAW dan sabda-sabda beliau yang telah ditulis di atas, maka bid’ah secara istilah adalah menciptakan sesuatu yang baru yang menyangkut ritual peribadatan, baik mengubah ritual peribadatan yang telah ditentukan tata cara dan syarat rukunnya maupun meracik ritual peribadatan baru.


Perlu diperhatikan bahwa yang memberikan vonis sesat terhadap bid’ah bukanlah si A atau si B melainkan Rasulullah.


Rasulullah Shalallahu’alaihiwasallam bersabda:


مَا أَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا رُفِعَ مِثْلُهَا مِنَ السُّنَّةِ


"Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah, kecuali akan terangkat Sunnah yang semisal dengannya." (HR Ahmad)


Wallahua’lam.